Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pemindahan tujuh tersangka makar dari Kepolisian Daerah Papua ke Kalimantan Timur diadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Papua. Pengaduan itu dilakukan Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua pada Senin (14/10/2019).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay selalu anggota Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua menyatakan pihaknya meminta Komisi Ombudsman RI Perwakilan Papua menyelidiki dugaan maladministrasi dalam proses pemindahan tujuh tersangka makar ke Kalimantan Timur pada 4 Oktober 2019. Ketujuh tersangka itu adalah Buchtar Tabuni, Agus Kosay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlai, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmabin.
Gobay menyatkaan tindakan Kepolisian Daerah (Polda) Papua memindahkan lokasi penahanan ketujuh tersangka makar itu melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 (PP No 2/2003) tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian. Gobay menyatakan pemindahan lokasi penahanan para tersangka itu merupakan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur Pasal 6 huruf q. PP No 2/2003.
“Berikutnya, kami juga akan mengadukan ini ke Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas dan Divisi Profesi dan Pengamanan atau Propam Mabes Polri. Itu tiga upaya kami. Tujuan pelaporan itu untuk menentukan kebijakan tersebut apakah maladministrasi. Kami juga minta tujuh tahanan itu dikembalikan ke Papua,” kata Emanuel Gobai kepada Jubi, Selasa (15/10/2019).
Pemindahan ketujuh tersangka makar itu terjadi ketika Kepala Polda Papua dijabat oleh Irjen Rudolf A Rodja. Gobay menegaskan pelaporannya tetap relevan kendati Kepala Polda Papua kini sudah diserahterimakan dari Irjen Rudolf A Rodja kepada Irjen Paulus Waterpauw.
“Institusinya yang kami sebutkan [dalam pengaduan]. Untuk praperadilan terkait penangkapan yang tidak prosedural, kami masih diskusikan dalam tim. Jika sudah ada kesepakatan, kita akan gugat mulai dari Kapolri hingga Kapolda,” ucapnya
Pendeta Dora Balubun dari Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua mengatakan berbagai insiden di Papua belakang ini merupakan reaksi dan dampak atas ujaran rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu. Akan tetapi, kini berbagai reaksi itu diarahkan bentuk perbuatan makar.
“Saya pikir ini sudah dibelokkan jauh sekali. Diarahkan ke politik. Kesempatan ini digunakan aparat atau negara mengambil langkah-langkah menangkap aktivis, pejuang Papua merdeka,” kata Pdt. Dora Balubun.
Menurutnya, demonstrasi di Kota Jayapura beberapa waktu lalu yang menyebabkan sejumlah aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) ditangkap, tidak ada kaitannya dengan dua organisasi tersebut. “Kalau dilihat ULMWP dan KNPB tidak terlibat dalam demonstrasi itu. Demonstrasi itu murni didorong oleh mahasiswa. Tapi kini KNPB dan ULMWP ditangkap, dibawa jauh dari Papua,” ujarnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G