Pemikiran Jean Paul Sartre dan pembebasan di West Papua

papua-demo-anti rasisme
Ribuan orang Papua saat melakukan aksi anti rasisme di depan Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura, Papua, 28 Agustus 2019 – Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Sebedeus G. Mote

Hidup karya Jean Paul Sartre dan filsafatnya

Read More

Jean-Paul Sartre lahir tahun 1905 sebagai putra dari Jean-Batiste, seorang perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweiter. Sejak muda, ia sudah memperlihatkan minat dan bakatnya yang besar pada karya-karya sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia bertemu dengan Hendri Bergson (1849-1941) di Ėncole Normale, Paris, tempat ia belajar.

Tahun 1934-1935, Sartre menghabiskan waktunya di Institut Francis di Berlin, di mana ia mempelajari fenomenologi Husserl. Sartre menulis buku Transcendental Ego (1936) di Jerman ketika ia masih berada di institut tersebut. Ia mengaku bahwa bukunya itu ditulis atas pengaruh dari Husserl. Di Berlin ia juga menulis novelnya yang terkenal La Nausėe (rasa mual) yang dianggapnya sendiri sebagai karyanya yang terbaik sampai akhir kariernya.

Selama Perang Dunia II, Sartre juga aktif dalam gerakan pertahanan Prancis sampai menjadi seorang tawanan perang tentara Jerman. Di kamp tahanan perang, ia membaca tulisan-tulisan Heidegger.

Rujukan-rujukannya kepada pemikiran Heidegger memperlihatkan bahwa pemikiran Heidegger amat berpengaruh atasnya. Ini terutama kelihatan dalam karya monumentalnya L’Ėtre et le Nėant (Being and Nothingness, Ada dan Ketiadaan). Dengan demikian pandangan metafisik dari Sartre ini terungkap. Pemahaman dasarnya adalah tentang sesuatu yang dapat berada. Misalnya meja kursi, lautan dan pepohonan, batu kerikil dan planet, semua itu merupakan sebuah substansi yang ada pada dirinya sendiri atau istilahnya being-in-itself.

Sartre banyak menulis buku-buku dan ia menghasilkan lebih dari 30 volume buku dan sebagai kelanjutan dari Being and Nothingness (1943), ia menulis karyanya yang besar Critique of Dialectical Reason (1960). Bukunya yang terakhir adalah suatu karya tiga volume tentang Fleubert, berjudul The Idiot of the Family, 1971-1972.

Sartre adalah orang yang komitmen pada kebebasan dan hal ini menyebabkan ia menolak menerima hadiah nobel untuk bidang sastra yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1964. Alasannya,  “saya tidak mau dijelmakan ke dalam ikatan situasi”.

Sartre hidup sederhana dengan harta milik yang tidak seberapa di suatu apartemen kecil di Paris. Kesehatannya menurun dan hampir buta. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 15 April 1980, dalam usia 74 tahun.

Ateisme Jean Paul Sartre lebih mirip dengan ateisme Nietzsche daripada dengan ateisme Feuerbach dan Freud. Ateisme merupakan unsur kunci dalam pemikiran Sartre. “Ateisme adalah usaha panjang dan kejam; aku berpendapat bahwa aku meneruskannya sampai batasannya”.

Bagi Sartre, demi keutuhan manusia tidak mungkin ada Allah. Hanya kalau tidak ada Allah, manusia dapat betul-betul menjadi dirinya sendiri. Adanya Allah akan mencegah manusia menjadi dirinya sendiri.

“Eksistensialisme…bukan ateisme dalam arti bahwa ia sekadar membuktikan bahwa tidak ada Allah. Melainkan sebenarnya eksistensialisme mengatakan: bahkan seandainya ada suatu Allah, hal itu tidak akan mengubah apa-apa; itulah titik pandang kami. Bukan seakan-akan kami percaya bahwa Allah ada, tetapi kami berpendapat bahwa pernyataan itu bukanlah pertanyaan tentang eksistensialismenya, manusia harus menentukan diri dan meyakinkan diri bahwa tak ada yang dapat menyelamatkannya dari dirinya sendiri, juga tidak ada suatu bukti sah adanya Allah.”

Pandangannya tentang kebebasan

Dalam filsafat Sartre ”kebebasan” merupakan kata kunci. Kebebasan tidak merupakan salah satu ciri yang menandai manusia, di samping sekian banyak ciri lainnya. Manusia adalah kebebasan, kata Sartre.

Manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Suatu cara lain untuk ”mendefinisikan” manusia pada dasarnya menunjuk kepada hal yang sama. Teorinya tentang kebebasan ini dirangkai atas dasar formula kontradiktif yang dikenal juga sebagai “Sartre paradoks” di mana Ada pada dirinya sendiri (Being-for-itself) secara sederhananya adalah ada apa adanya.

Sartre juga tertarik mengungkapkan realitas bahwa “anda dapat berubah ke jalur lain”. Seiring juga dengan perkembangan Sartre tampak menjadi lebih tertarik pada berbagai pengaruh kuat yang tengah tumbuh di tengah masyarakat dan menguasai usaha pencapaian status sosial pada situasi-situasi yang ada pada proyek manusia.

Pandangannya tentang Tuhan dan kemungkinan ultim manusia

Bagi Sartre kemungkinan ultim manusia adalah mengembangkan situasi-situasi yang ada, termasuk semua potensi yang ada pada setiap pribadi. Sartre tidak dapat mengatakan apa persisnya kemungkinan ultim itu, sebab manusia adalah kebebasan yang mencipta.

Maksud Sartre, bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, berarti ia sendirilah yang membentuk dirinya sendiri. Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri. Itulah prinsip pertama eksistensialisme. Karena manusia hanya dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri apabila ia bebas. Tetapi kalau ada Allah, ia tidak bebas lagi. Semuanya telah ditentukan. Manusia lalu tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Apabila ada Allah, manusia itu merupakan ketiadaan.

Menurut Sartre, kebebasan manusia betul-betul absolut. Tidak ada batas-batas bagi kebebasan, kata Sartre, selain batas-batas yang ditentukan oleh kebebasan sendiri. Konsepsi tentang kebebasan ini menjadi salah satu alasan bagi ateisme Sartre. Seandainya Allah ada, kata Sartre, tidak mungkin saya bebas.

Allah itu maha tahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum saya melakukan dan Allah pulalah yang akan menentukan hukum moral. Kalau begitu, tidak ada peluang lagi bagi kreativitas kebebasan. Allah sebagai Ada Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.

Keyakinan bahwa adanya Allah akan menghancurkan kebebasan manusia berkaitan dengan pengertian Sartre tentang manusia. Manusia menemukan diri terlempar ke dalam eksistensi. Manusia adalah ”satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya”. Ia sama sekali bebas, sama sekali tidak terdeterminasi. Ia harus memproyeksikan diri, menciptakan diri, melalui kebebasannya.

Jadi, manusia tidak mempunyai sesuatu padanya ia dapat bersandar. Tak ada hakikatnya, tak ada moralitas objektif padanya ia dapat mencari orientasi, tak ada baik-buruk objektif padanya ia dapat mengambil arah. Karena itu, manusia merasa terbebani oleh kebebasannya, ia takut, ia ingin berada pada dirinya sendiri. Hal mana akan berarti bahwa ia melepaskan kekhasannya sebagai berada bagi dirinya sendiri. Menerima sesuatu di luarnya sebagai dukungan berarti mengkhianati dirinya sendiri.

Terperangkap dalam ketegangan ini antara kekhasannya sebagai kesadaran yang harus meniadakan realitas objektif di satu pihak, dan ketakutannya terhadap situasi di lain pihak ia merasa geli atau jijik.

Kemanusiaannya terasa tanpa makna, tidak masuk akal, aneh (absurd). Sartre menyerukan agar manusia berani menghadapi situasinya yang tanpa makna itu.

Jelaslah bahwa dengan pandangan tentang kebebasan radikal itu manusia akan gagal dalam usaha menemukan diri apabila ada Allah. Begitu ada Allah yang mahakuasa, dalam arti bahwa ia dapat, bahkan harus, secara total bebas dari segala ketentuan, menentukan diri. Kalau hakikat manusia adalah kebebasan total sebagai ada-bagi-diri-sendiri, adanya Allah mesti merupakan sebuah kerangka acuan yang tidak dapat diabaikan, dan dengan demikian, manusia menurut pandangan Sartre, tidak lagi bebas. Jadi karena manusia bebas, tidak mungkin ada Allah.

Begitu pula, kalau memang ada Allah, maka alam semesta, termasuk manusia, harus dianggap ciptaan Allah. Tetapi kalau manusia itu ciptaan Allah, manusia tentu memiliki kodrat tertentu (sebagaimana misalnya diandaikan dalam teori hukum kodrat). Padahal kodrat termasuk faktisitas, kenyataan yang berada-pada-dirinya-sendiri. Jadi, manusia menurut Sartre tidak mempunyai kodrat.

Manusia justru harus menciptakan kodratnya, dirinya sendiri, melalui kebebasannya. Oleh karena itu tidak mungkin ada Allah. Kalau memang ada Allah, Allah harus dipikirkan sebagai baik berada-pada-dirinya-sendiri maupun sebagai berada-bagi-diri-sendiri: Ia mesti merupakan dasar segala realitas objektif dan sekaligus kesadaran dan subjektivitas, padahal dua-duanya menurut Sartre tidak dapat bersama. Maka, konsepsi Sartre tentang manusia tidak meninggalkan ruang untuk menerima eksistensi Allah.

Evaluasi kritis

Eksistensialisme Sartre  tentang kebebasan sangat menakjubkan. Pandangannya itu sangat menakjubkan karena salah satu aspek dari manusia dipandang sebagai suatu hal yang bagi manusia adalah haknya sebagai manusia. Manusia dapat berkembang karena kebebasannya untuk berkreasi dalam menentukan dirinya sendiri selayaknya sebagai manusia. Mengenal jati diri manusia tidak lain bahwa manusia itu sendiri harus bebas.

Dalam merumuskan kebebasan manusia, Sartre sendiri tidak secara spesifik membedakan atau membatasi diri pada kebebasan manakah yang diutamakan manusia. Kebebasan manusia dalam menyatakan dirinya sendiri untuk mencapai nilai-nilai yang berharga bagi dirinya sendiri.

Di manakah nilai yang dicapai? Dapat dikatakan bahwa kebebasan untuk berperilaku sesuai dengan kondisi dan keadaan yang ia jumpai, dan dengan bebas ia menentukan nilai di balik tindakannya. Sehingga tidak benarlah bahwa Allah menghilangkan kebebasan manusia. Justru Allah menantang kita dengan panggilan dan tuntutannya, memberikan bobot yang paling dalam sebagai acuan terhadap-Nya, karena Allah bukanlah saingan manusia.

Hal yang berlaku bagi argumen Sartre bahwa kalau ada Allah, kita diciptakan, dan itu berarti bahwa kodrat manusia telah ditentukan sesuai dengan kondisinya.

Kodrat kita di satu pihak memungkinkan kita untuk mengambil sikap, di lain pihak merupakan kondisi terhadapnya. Anggapan bahwa berada-pada dirinya-sendiri, dan berada-bagi-dirinya-sendiri harus terpisah mutlak justru tidak masuk akal yang dalam uraiannya saling berkaitan.

Inti kekuatan dan kelemahannya berdasarkan evaluasi kritis

Letak kekuatan atas pemikirannya

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa eksistensialisme Sartre tentang kebebasan ini memang sangat menakjubkan. Pandangan yang sangat menakjubkan karena salah satu aspek dari manusia dipandang sebagai suatu hal yang bagi manusia adalah haknya sebagai manusia.

Manusia dapat berkembang karena kebebasannya untuk berkreasi dalam menentukan dirinya sendiri selayaknya sebagai manusia. Kembali mengenal jati diri manusia tidak lain bahwa manusia itu sendiri harus bebas menentukan nasibnya (Self-Determination).

Letak kelemahan atas pemikirannya

Tidak benar bahwa Allah menghilangkan kebebasan manusia. Dengan kebebasan kita membangun kerajaan manusia. Justru Allah menantang kita dengan panggilan dan tuntutannya, memberikan bobot yang paling dalam sebagai acuan terhadap-Nya, karena Allah bukanlah saingan manusia. Kalau ada Allah, kita diciptakan, dan itu berarti bahwa kodrat manusia telah ditentukan sesuai dengan kondisinya.

Memang kodrat kita di satu pihak memungkinkan kita untuk mengambil sikap, di lain pihak merupakan kondisi terhadapnya. Anggapan bahwa berada-pada dirinya-sendiri, dan berada-bagi-dirinya-sendiri harus terpisah mutlak justru tidak masuk akal yang dalam uraiannya saling berkaitan.

Bagaimana dengan situasi kebebasan di Papua?

Dalam merumuskan kebebasan manusia, Sartre sendiri tidak secara spesifik membedakan atau membatasi diri pada kebebasan manakah yang diutamakan manusia. Kebebasan manusia dalam menyatakan dirinya sendiri untuk mencapai nilai-nilai yang berharga bagi dirinya sendiri. Di manakah nilai yang dicapai? Dapat dikatakan bahwa kebebasan untuk berperilaku sesuai dengan kondisi dan keadaan yang ia jumpai, dan dengan bebas ia menentukan nilai di balik tindakannya.

Manusia di Papua secara umum memperjuangkan kebebasan atas pribadi dan bersama. Pribadi berkaitan dengan hak hidup sebagai manusia dan bersama sebagai jati diri satu bangsa kulit hitam yakni sebagai bangsa Melanesia.

Manusia Papua berhak menyampaikan pendapat atas haknya dan mendukung kebebasan atas jati dirinya adalah membutuhkan seorang atau figur yang benar-benar membebaskan bangsa Papua dari seluruh penindasan yang terstruktur dan sistematis. Hak berkonotasi pada perjuangan materi atau membangun kerajaan dunia dan martabat berkaitan dengan perjuangan kebebasan yang hakiki dan fundamental (membangun Tanah Papua menuju pembebasan yang hakiki).

Situasi kemanusiaan Papua pun sama. Saat-saat ini semua resah dan gelisah akan kebebasan model apa yang harus diutamakan. Kebebasan mana yang hendak diselesaikan terlebih dahulu.

Mengapa dikatakan seperti demikian? Karena kebebasan manusia Papua dijajah oleh kolonial Indonesia sejak 1961. Setiap Kebebasan yang mainkannya selalu ada cerita tentang ejekan, ancaman, diperkosa, martabat yang luhur dan mulia diinjak, bahkan tingkatan doktrin dari kolonial tentang hak pribadinya sangat tinggi dan nyawa korban bagi sahabat jati diri yang lain.

Jika “pemimpin kolonial” memandang manusia Papua lebih luhur dan mulia lalu menyuarakan penindasan kebebasannya, di situ ia menghadirkan kerajaan Allah melalui kebebasan berpikirnya sebagai suatu daya cipta. Kalau tidak demikian di situ letak titik kelemahannya bahwa dirinya mencintai materi sesaat.

Maka itu kemungkinan ultim manusia adalah ketika berbicara tentang hak pribadi adalah mati dan menyuarakan atas martabat manusia yang luhur ialah hidup. “Mati” kemungkinan besar untuk membangun kerajaan manusia lalu hidup dalam materi dan mati. Dan “hidup” kemungkinan membangun “bagaimana Papua yang merdeka” yang bermartabat luhur serta mulia dan hidup.

Urusan dengan Tuhan sudah berakhir saatnya hadapi manusia dengan manusia dengan berlandaskan kasih atau dalam bahasa filsafat suku Mee sebut (Ipamanaa) menuju kebebasan yang sejati. Manusia membebaskan manusia.

Dengan pemikiran ini marilah kita meningkatkan kegiatan berpikir untuk membebaskan diri, membebaskan teman, sahabat, keluarga dan terutama untuk bangsa kita Papua. (*)

Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur dan anggota Kebadabi Voice Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply