Pemerintah didesak tarik pasukan militer dari Puncak

Penambahan Pasukan di Papua
Foto ilustrasi - pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Desakan kepada pemerintah untuk menarik pasukan militer dari Kabupaten Puncak, Papua, kembali muncul. Penambahan pasukan militer dari luar Papua yang terjadi sejak eskalasi kontak tembak antara aparat keamanan dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB dinilai tidak menyelesaikan masalah.

Salah satu pemuda asal Kabupaten Puncak, Penatan Wanimbo menyatakan eskalasi konflik bersenjata di Puncak membuat banyak warga sipil yang mengungsi. Menurutnya, sejak konflik bersenjata memanas di Puncak pada 2019, masyarakat di Puncak mengungsi ke Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak, maupun ke kabupaten tetangga seperti Mimika dan Nabire. Warga sipil mengungsi karena takut menjadi korban salah sasaran.

Read More

Penatan Wanimbo menilai pengiriman pasukan militer dari luar Papua tidak memiliki dasar dan status hukum yang jelas. Hal itu membuat banyak pihak di Papua mempertanyakan mengapa pemerintah terus menambah pasukan militer di Papua.

Baca juga: Senjata dicuri, aparat lakukan penyisiran dan aniaya warga, 1 anak SD meninggal dunia

“Apakah ini operasi militer, atau rencana genosida bagi kami orang Lani di Wilayah Adat Lapago? Karena, [penambahan] aparat keamanan tidak mengikuti prosedur,” kata Wanimbo.

Wanimbo mencontohkan insiden aparat keamanan menangkap dan menganiaya tujuh siswa SD untuk mencari pencuri senjata salah satu prajurit TNI di Sinak, Puncak pada 22 Februari 2022. Ia mempertanyakan mengapa aparat keamanan sampai bisa menangkap anak SD.

“Kami bingung dengan tindakan TNI/Polri di Kabupaten Puncak. Mereka selalu gunakan mobil dinas seperti ambulans milik Puskesmas Kago, dan mobil dinas milik Pemerintah Kabupaten Puncak, mereka pakai untuk kepentingan mereka,” kata Wanimbo.

Baca juga: Dua korban penembakan TPNPB berhasil dievakuasi dari Puncak

Ia juga mengkritik banyaknya fasilitas publik yang dijadikan pos oleh aparat keamanan. “TNI/Polri menempati rumah-rumah dinas seperti rumah sakit di Majumari, Kantor Distrik Gome, dan rumah wisata di Aminggaru. Kami juga masih bingung dengan ketidakmampuan TNI/Polri untuk mengejar TPNPB, akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat setempat,” kata Wanimbo.

Wanimbo mengatakan pemerintah tidak bisa menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan masalah Papua. Menurutnya, pendekatan keamanan itu justru membuat masyarakat merasa tidak aman.

“Masyarakat kami, orang tua kami, akan terus menderita karena konflik yang berkepanjangan. Konflik itu sangat buruk bagi keberlangsungan hidup yang damai,” katanya.

Penanganan pengungsi buruk

Wanimbo juga mengkritik Pemerintah Kabupaten Puncak dan Pemerintah Provinsi Papua yang dinilainya tidak tuntas menangani kasus warga sipil mengungsi. Menurutnya, para pengungsi itu tinggal terpencar, tidak bisa berkebun dan tidak memiliki cukup bahan pangan, namun tidak mendapat cukup bantuan dari pemerintah.

Wanimbo menyatakan pemerintah daerah hanya menyediakan tempat pengungsian dengan fasilitas dan bahan makanan yang terbatas. “Sehingga masalah makanan dan lain-lain sanggat susah. Pemerintah biarkan saja, tidak ada perhatian dari pemerintah daerah,” katanya.

“Kami harap pemerintah punya skema yang bagus untuk menangani pengungsi. Sebab, jika pemerintah tidak memunyai skema yang bagus, akan berdampak kepada pengungsi,” katanya.

Baca juga: TPNPB nyatakan bertanggung jawab atas penembakan prajurit TNI di Puncak

Tim Perempuan dan Anak Divisi Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Papua, Novita Opki juga menilai pemerintah tidak tuntas menangani masalah warga sipil mengungsi. Menurutnya, pemerintah menelantarkan hak perempuan dan anak di wilayah konflik.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak itu ada tiga bentuk, yakni  kekerasan fisik, psikis, dan juga kekerasan seksual. Dalam konteks konflik di Papua, tiga bentuk kekerasan itu terjadi terhadap perempuan dan anak yang berada di daerah konflik,” kata Novita Opki.

Opki mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah konflik memang tidak mudah diurai, sebab kekerasan yang terjadi sebagai dampak dari konflik bersenjata itu kompleks. “Apabila dilihat dari fakta, negara mengabaikan hak-hak yang dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945. Kami bisa berikan kesimpulan bahwa negara melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di berada di daerah konflik, sebab negara lalai dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia mereka,” kata Opki. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply