Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan tindakan polisi membubarkan demonstrasi tolak pemekaran Papua di Kota Jayapura pada Senin (14/3/2022) melanggar aturan. Gobay menyatakan sedikitnya ada tiga aturan yang dilanggar polisi saat menangani demonstrasi itu.
Hal itu dinyatakan Emanuel Gobay di Kota Jayapura, Kamis (17/3/2022). “Dalam penanganan massa aksi [di Kota Jayapura], polisi telah membungkam ruang demokrasi di Papua. Tindakan itu melanggar Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. [Pelanggaran itu] dilakukan secara struktural oleh Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura dibantu TNI yang mem-back up [pengamanan] aksi tersebut,” kata Gobay.
Gobay mengatakan pembubaran demonstrasi menolak rencana pemekaran Provinsi Papua di Kota Jayapura itu juga melanggar Pasal 170 KUHP tentang penggunaan tenaga bersama untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau barang. Dugaan itu didasarkan tindakan sejumlah polisi yang mengeroyok dan memukul demonstran.
Baca juga: Aksi mahasiswa tolak DOB di Papua dihalau dan dibubarkan polisi
Gobay menyatakan dalam pembubaran demonstrasi menolak pemekaran Papua di Kota Jayapura itu polisi juga menggunakan gas air mata dan water cannon, sehingga demonstrasi damai itu menjadi kacau. “[Hal itu] jelas menunjukan bahwa aparat melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar Pokok HAM dalam Tugas Kepolisian,” kata Gobay.
Gobay menegaskan para warga dan mahasiswa berhak menyampaikan pendapat mereka atas rencana pemerintah memekarkan Provinsi Papua, dan penyampaian pendapat di muka umum dilindungi oleh hukum. Apalagi demonstrasi menolak rencana pemekaran itu dilakukan dengan cara damai.
“Polisi langsung menghadang para mahasiswa yang turun ke arah gapura [Kampus] Universitas Cenderawasih. Saat itu mahasiswa berusaha melakukan negosiasi, tetapi tidak diindahkan oleh polisi. Bahkan satu staf LBH Papua yang ikut melakukan negosiasi tidak diindahkan,” kata Gobay.
Baca juga: Demonstran dipukuli polisi di halaman Fakultas Teknik Uncen
Gobay menyatakan polisi juga menghalangi massa yang berkumpul di Abepura, Kota Jayapura, untuk mengikuti demonstrasi menolak pemekaran Papua. “Mahasiswa tidak bisa keluar ke tempat sasaran mereka menyampaikan aspirasinya, sehingga mereka memutuskan untuk bergabung massa aksi di Jalan SPG Waena,” kata Gobay.
Akan tetapi, polisi kemudian membubarkan demonstran menolak pemekaran Papua yang berkumpul di Jalan SPG Waena. Beberapa polisi menendang demonstran hingga terluka.
“Aparat kepolisian juga mengeluarkan tembakan gas air mata. Massa aksi yang keluar dari Asrama Nayak juga direpresi menggunakan gas air mata dan water cannon. Mereka akhirnya kembali masuk ke asrama,” Gobay. Menurutnya, polisi juga melakukan represi serupa terhadap demonstran yang berkumpul di Expo Waena.
Baca juga: Kapolresta Jayapura: pembubaran demo pemekaran sudah sesuai prosedur
“Massa aksi [akhirnya] memberikan pernyataan mereka, namun faktanya para demonstran tidak bisa menyampaikan aspirasi mereka di tempat yang dituju. Itu semua membuktikan bahwa aparat keamanan melanggar tiga aturan di atas,” kata Gobay.
Secara terpisah, Koordinator Papuan Observatory for Human Rights atau POHR Thomas Ch Syufi menyatakan tindakan polisi membubarkan demonstran menolak pemekaran Papua dilakukan dengan memasuki kampus Universitas Cenderawasih. Polisi membubarkan mahasiswa yang berunjuk rasa di kampusnya sendiri.
“Sangat disesalkan, polisi membatasi ruang ekspresi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat secara damai soal penolakan Daerah Otonom Baru di Tanah Papua. [Padahal hal itu] dilakukan oleh mahasiswa di kampus Universitas Cenderawasih,” katanya.
Baca juga: Demo tolak pemekaran di Dekai berakhir bentrok, 2 pengunjuk rasa dilaporkan meninggal dunia
Syufi menyatakan polisi telah mengabaikan jaminan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 dan melanggar Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Polisi juga melanggar prinsip otonomi kampus sebagai ruang perdebatan ilmiah tentang berbagai hal, termasuk untuk mengkritisi kebijakan pemerintah.
“Di Papua yang terjadi hukum harus mengikuti kehendak kekuasaan. Indonesia ini negara demokrasi terbesar urutan ke-4 di dunia, tapi kebebasaan berekspresi yang menjadi mahkota demokrasi itu dibungkam oleh kekuasaan di Tanah Papua,” kata Syafi.
Syafi menyatakan situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua terus memburuk. Hal itu tampak dari semakin banyaknya kekerasan yang mengorbankan warga sipil, dan semakin represifnya aparat keamanan menghadapi penyampaian pendapat orang Papua di muka umum. Syafi juga mengkritik cara polisi menangani demonstrasi menolak pemekaran di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, pada Selasa (15/3/2022) lalu.
Baca juga: Komnas HAM Papua lakukan investigasi tewasnya 2 demonstran di Yahukimo
Penanganan demonstrasi menolak pemekaran Papua di Dekai menimbulkan bentrokan antara demonstran tolak pemekaran Papua dan aparat keamanan. Bentrokan itu menyebabkan dua demonstran—Yakob Meklok dan Esron Weipsa—meninggal dunia karena terkena tembakan, serta memicu amuk massa yang membakar sejumlah ruko dan kantor pemerintah di Dekai.
“Sangat memprihatinkan, dua orang mati dan beberapa orang terluka, diduga karena ditembak oleh aparat keamanan. Hal itu sangat tidak sesuai dengan standar prosedur negara hukum yang menjunjung tinggi martabat dan Hak Asasi Manusia,” kata Syafi. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G