Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi atau MK periode 2013-2015, Dr. Hamdan Zoelva menyatakan pembentukan partai politik (parpol) lokal di Papua merupakan tanggung jawab Presiden Republik Indonesia.
Menurutnya, pembentukan parpol lokal di Papua memiliki landasan konstitusi, karena merupakan amanat pasal 28 ayat (1) UU Otsus Papua.
Sesuai amanat pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 Republik Indonesia. Pasal ini memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Presiden menetapkan peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
Pernyataan itu dikatakan Hamdan Zoelva dalam diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #7 “Menimbang Pembentukan Partai Politik Lokal di Papua.”
Diskusi yang digelar Gugus Tugas Papua Universitas Gajah Mada (UGM) ini diselengarakan, Selasa (25/8/2020).
Ia mengatakan, Papua merupakan satu di antara empat daerah khusus dan istimewah di Indonesia. Daerah khusus dan istimewa ini berbeda dengan daerah lain.
Kekhususan dan keistimewaan itu diakui dalam pasal 18B UUD 1945. Daerah-daerah ini diberikan pengecualian kebijakan hukum bersifat nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk pembentukan partai politik.
Menurutnya, karena pembentukan parpol lokal di Papua bersumber dari pasal 18B UUD 1945 dan diakui dalam UU Otsus, maka itu adalah hak konstutisional yang harus dilindungi oleh negara dan pemerintah.
“Karenanya, tata cara pembentukan dan hal teknis terkait parpol lokal di Papua adalah kewajiban pemerintah membuat pelaksanannya. Itu adalah tanggung jawab Presiden,” kata Hamdan Zoelva.
Katanya, pembentukan parpol lokal di Papua dan keikutsertaannya dalam pemilihan umum (pemilu), cukup diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Tidak bisa merujuk pada UU partai politik, karena tidak ada keterkaitannya.
Ia berpendapat, pasal 28 ayat (1) UU Otsus Papua bermakna adanya pengakuan konstutisional, warga Papua boleh dan diberikan hak mendirikan parpol lokal karena sifat kekhususan itu.
“Boleh karena itu ada hak. Dihubungkan dengan pasal 5 ayat (2) UUD, konstitusi memberi wewenang dan tanggung jawab kepada presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah menjalankan UU sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Ia menyimpulkan, pembentukan parpol lokal Papua tidak bisa merujuk pada UU parpol yang berlaku secara umum. Tidak harus mengubah UU Otsus Papua untuk pembentukan parpol lokal, namun cukup menerbitkan PP.
Selain itu, pasal 28 UU Otsus Papua yang mengatur pembentukan parpol lokal dan hak politik orang asli Papua, sangat jelas bersifat khusus dan spesifik.
Dalam diskusi itu, Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Bambang Purwoko mengatakan penegasan tentang adanya parpol lokal dan penataan ulang desain pemilu/pemikukada yang kontekstual sesuai kondisi Papua, adalah salah satu bentuk desentralisasi asimetris dibidang politik.
Menurutnya, penciptaan ruang dan kesempatan pembentukan parpol lokal di Papua bisa dipahami sebagai salah satu langkah proteksi orang asli Papua terhadap hak politik kewarganegaraan.
“Proteksi dan afirmasi politik bagi orang asli Papua sangat penting karena tanpa hal itu, orang asli Papua akan termarjinalkan dari kehidupan politik,” kata Bambang. (*)
Editor: Edho Sinaga