Pemalsuan merek dagang di Bali marak

Ilustrasi, pixabay.com
Ilustrasi, pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Denpasar, Jubi – Pengamat dan praktisi hukum, I Kadek Agus Mulyawan, menyatakan selama ini pemalsuan merek dagang di Bali marak. Hal itu karena pelanggaran merek dagang di Bali belum maksimal mendapat banyak perhatian para penegak hukum, bahkan ada sampai merugikan masyarakat.

“Saya amati merebaknya kasus pemalsuan merek yang merugikan masyarakat selaku konsumen ternyata belum mendapat perhatian maksimal dari penegak hukum,” kata Mulyawan, Kamis, (4/7/2019).

Read More

Ia menyebutkan pelanggaran hukum pemalsuan merek berkenaan dengan banyaknya praktek pemalsuan di lapangan makin marak. “Salah satunya baru-baru ini, merek dagang, yakni Blue Bird Group sebagai salah satu perusahaan taksi terbesar di Bali banyak yang ditiru,” kata Mulyawan menambahkan.

Hal itu dinilai terlalu parah apa lagi sampai tanda pengenal pun dibuat seidentik mungkin, sehingga mengelabuhi pelanggannya. Bahkan, salah satu pelakunya yang diduga memalsukan kartu tanda pengenal pengemudi Blue Bird Group sudah ditetapkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar.

Menurut dia, perbuatan pihak lain yang menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lainnya untuk barang atau jasa sejenis yang di produksi dan diperdagangkan, adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk jenis pelanggaran. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

“Hukumannya diancam 5 (lima) tahun dan apabila mengakibatkan gangguan kesehatan dan kematian ancaman 10 tahun, dan jika orang lain yang tertipu akibat merek yang tidak sama, korban bisa melaporkan pasal penipuan dengan ancaman 4 (empat) tahun penjara,” kata Mulyawan menjelaskan.

Ia menegaskan kasus tindak pidana merek itu berbeda dengan tindak pidana biasa, sehingga terkesan lambat penegakan hukumnya di Indonesia. Apalagi, dalam Undang-Undang tersebut dengan jelas ditentukan bahwa tindak pidana pemalsuan merek dagang mulai pasal 100 sampai dengan pasal 102 merupakan delik aduan. “Implikasi dari delik aduan berarti bagi pihak penegak hukum sifatnya hanya menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan,” katanya.

Dengan kata lain jika tidak ada yang mengadu, maka sekalipun telah terjadi pelanggaran merek, aparat penegak hukum dapat saja mengabaikan atau membiarkan pelaku bebas tanpa diproses secara hukum. (*)
Editor : Edi Faisol

Related posts

Leave a Reply