“Kekacauan distribusi BBM jenis solar ini sudah terjadi selama sebulan ini sejak dikeluarkannya surat edaran dari BPH Migas hingga dicabutnya kembali surat edaran itu,”
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Bara, Syaifuddin Syahrudi menyebut tata pasok bahan bakar minyak (BBM) oleh PT Pertamina yang tidak jelas berdampak pada kacaunya distribusi logistik.
“Kekacauan distribusi BBM jenis solar ini sudah terjadi selama sebulan ini sejak dikeluarkannya surat edaran dari BPH Migas hingga dicabutnya kembali surat edaran itu,” ujar Syaifuddin Syahrudi, Jumat, (1/11/2019).
Baca juga :Distribusikan barang murah, Malaysia gandeng kedai Aceh
DPRD Jayawijaya minta distribusi barang diawasi Pemprov Papua komit turunkan harga distribusi barang
Ia mengatakan sejak surat edaran itu dicabut kembali, tetap saja tidak ada solusi karena BBM jenis solar masih sulit didapatkan oleh para pengemudi angkutan yang mengangkut kebutuhan masyarakat maupun ekspor.
Syaifuddin menyatakan walaupun surat edaran dicabut, para sopir tetap mengantre cukup lama di Sentra Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk bisa mendapatkan solar.
“Tidak ada solusi riil dari Pertamina. Di lapangan, para sopir masih susah dapat solar karena tetap dibatasi dan dijatah,” kata Syaifuddin menambahkan.
Dia mencontohkan, arus distribusi ke Kabupaten Sidrap saat kondisi normal bisa 2 hingga 3 kali mobil angkutan singgah di SPBU untuk pengisian BBM. Dengan estimasi pergi dan pulang (PP) mencapai 5 sampai 6 kali singgah SPBU.
Namun saat ini, durasi pengisian bahan bakar membengkak parah setiap kali singgah di SPBU karena adanya pembatasan dan penjatahan sehingga banyak waktu terbuang untuk aktivitas distribusi logistik.
“Jadi kalkulasi kasarnya, berapa puluh jam waktu yang terbuang akibat hanya karena antrean di SPBU. Bisa lebih lama antrean isi BBM dari pada waktu jarak tempuh,” kata Syaifuddin menjelaskan.
Menurut dia, jika ingin konversi ke solar dex, pengusaha angkutan pasti mengalami kerugian biaya operasional mobil karena selisih BBM jenis bio solar dengan solar dex mencapai 100 persen.
Ia sendiri mempertimbangkan opsi menaikkan harga angkutan atau rasionalisasi karena berisiko naiknya harga barang-barang di masyarakat. (*)
Editor : Edi Faisol