Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Satu di antara pegiat Hak Asasi Manusia atau HAM di Papua, Theo Hesegem berharap pemerintah dan para pengambil kebijakan di Jakarta berpikir seperti Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Antiteror Polri, Irjen Pol Martinus Hukom.
Dalam diskusi daring beberapa hari lalu, Marthinus Hukom meminta semua pihak menghindari penggunaan kata terorisme kepada kelompok bersenjata di Papua.
Sebab, penggunaan kata terorisme dianggap akan menjadi stigma buruk bagi Orang Asli Papua (OAP), yang tidak menyebarkan aksi teror seperti kelompok bersenjata.
“Saya pikir memang [pelabelan teroris terhadap kelompok bersenjata] itu juga harus dipikirkan oleh pemerintah, dalam hal ini presiden, karena presiden punya kewenangan tertinggi,” kata Theo Hesegem kepada Jubi, Rabu (6/10/2021).
Menurutnya, pemerintah dan para pengambil kebijakan di negara ini jangan menganggap sepele pernyataan Mathinus Hukom. Apa yang dikatakan Kadensus 88 Antiteror Polri itu dinilai pemikiran yang tepat.
Katanya, sejak awal berbagai pihak menolak kebijakan pemerintah melabeli kelompok bersenjata Papua sebagai organisasi terorisme. Pelabelan itu dipandang akan memperburuk situasi Papua.
“Saya pikir presiden mesti mendengar saran Kadensus 88 Antiteror ini. Mungkin Kadensus lebih berpikir dari sisi kemanusian dan diskriminasi terhadap orang asli Papua. Saya pikir, apa yang ia katakan itu lebih tepat,” ujarnya.
Hesegem menyebut, pendapat Kadensus 88 Antiteror lebih bijaksana. Sebab, setelah kelompok bersenjata atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB/OPM) dilabeli sebagai teroris, situasi di Papua justru bergejolak.
Berbagai kasus kekerasan terhadap warga sipil dan aparat keamanan terjadi di sejumlah wilayah Papua. Namun pemerintah tidak melihat itu sebagai ekses dari pelabelan teroris.
“Kan sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pelabelan terorisme itu tepat. Orang orang yang mengikuti atau mendukung adalah bagian dari teroris, dia adalah teroris. Berarti orang orang Papua semua. Dia katakan orang orang. Dia tidak bilang kelompok,” ucapnya.
Hesegem menambahkan, pernyataan Marthinus Hukom juga menggambarkan adanya perbedaan pandangan terhadap kelompok bersenjata Papua, di kalangan pejabat negara.
“Ada perbedaan pandangan antara presiden, Menkopolhukam, Kadensus 88 Antiteror dan para pejabat negara lainnya. Akan tetapi, saya mendukung pernyataan Kadensus 88 Antiteror,” kata Hesegem.
Kadensus 88 Antiteror Polri, Irjen Pol Martinus Hukom melarang semua pihak menyebut kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris.
Katanya, penggunaan kata “teroris” mesti dihindari semua pihak. Sebab, itu akan menjadi stigma buruk terhadap orang asli Papua, yang tidak menyebarkan aksi teror seperti kelompok bersenjata.
Pernyataan itu dikatakan Marthinus Hukom dalam diskusi daring, Senin (27/9/2021) lalu.
Ia mengatakan, apabila kelompok bersenjata Papua memenuhi unsur terorisme, penggunaan kata terorisme mesti diikuti kata Papua.
“[Penggunaan kata terorisme] itu harus dihindari. Kenapa demikian? karena saya tidak mau kata terorisme itu distigmakan kepada identitas yang dibawa secara lahiriah seorang manusia,” kata Martinus.
Menurutnya, stigma tersebut telah berdampak terhadap seluruh OAP yang memiliki identitas lahiriah, yang sama sebagai keturunan Papua.
“Kita tidak boleh menterorismekan seluruh orang yang mempunyai identitas ke-Papua-an,” ujarnya.
Selain itu lanjutnya stigma itu juga berdampak pada psikososial seluruh orang Papua di manapun berada.
Ia juga berharap, kedepan aksi kelompok bersenjata juga tidak dihubungkan dengan suatu kepercayaan orang Papua. Sebab, itu sesuatu yang dinilai sensitif.
“Memahami Papua, dalam merespon apa yang terjadi di Papua, saya minta semua tokoh agama apapun menahan semua pendapat tentang apa yang terjadi di papua. Kita berikan ruang untuk menyelesaikan Papua secara komprehensif, adil tanpa menyentuh aspek-aspek yang sensitif,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga