Pegiat HAM: Kebijakan keliru penyebab sulitnya menyelesaikan masalah Papua

Papua
Ilustrasi pasukan militer - Pexels.com

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Satu di antara pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Theo Hesegem berpendapat, pemerintah selalu keliru mengambil kebijakan penyelesaian masalah di Papua.

Akibatnya, situasi di provinsi tertimur Indonesia itu justru semakin rumit. Kekerasan terus terjadi akibat konflik bersenjata antara aparat keamanan dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB/OPM).

Read More

Dalam konflik itu, korban tidak hanya berasal dari kedua pihak. Warga sipil asli Papua dan non-Papua juga sudah banyak yang menjadi korban.

“Kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua itu sudah keliru. Menurut saya kebijakan pemerintah itu yang salah  (keliru). Terus mengirim pasukan ke Papua, namun masalahnya tak pernah selesai,” kata Theo Hesegem kepada Jubi, Kamis (7/10/2021).

Menurutnya, berbagai pihak selama ini terus mengingatkan pemerintah bahwa pengiriman pasukan berlebihan ke Papua, bukan berarti dapat menyelesaikan berbagai masalah di sana. Sebaliknya, masalah di Papua makin rumit dan menyulitkan bangsa ini. 

“Selama ini pemerintah tidak pernah mengatakan di Papua ada operasi militer. Itu yang menyatakan hanyalah para pihak di Papua dan luar Papua. Pemerintah hanya menyatakan operasi penegakan hukum,” ucapnya.

Namun lanjut Hesegem, berapapun pasukan terlatih yang akan dikirim ke Papua, sulit meredam eksistensi kelompok bersenjata di sana. 

“Sulit, anak-anak OPM itu sekarang punya senjata canggih, dan itu diakui pihak keamanan. Seberapa banyak pun pasukan terlatih dikirim ke Papua, anak anak OPM justru katakan selamat datang, kami menunggu. Siapa saja silahkan datang,” ujarnya.

Sementara itu, Dewan Adat Papua menilai rangkaian kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tanah Papua untuk membuka Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua tidak memiliki agenda untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kekerasan yang terus terjadi di Papua.

Hal itu dinyatakan Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Konferensi Luar Biasa, Dominikus Surabut saat dihubungi Jubi pada Selasa (5/10/2021). 

Surabut menegaskan akar masalah Papua adalah aneksasi Papua oleh Indonesia dan penggunaan kekuatan militer yang melahirkan kekerasan berkepanjangan di Papua. Akan tetapi, akar masalah itu justru tidak diurus selama kunjungan Presiden Joko Widodo pada 1 – 4 Oktober 2021.

“Akar masalah Papua [adalah] aneksasi politik [dan] invasi militer sampai hari ini,” kata Surabut.

 

Surabut menyatakan invasi militer Indonesia yang dimulai dengan pernyataan Operasi Trikora oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 telah menimbulkan kekerasan yang berkepanjangan hingga kini. Berbagai operasi militer yang terjadi sebelum dan sesudah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 menimbulkan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga kini tidak pernah diselesaikan pemerintah.;

Surabut menegaskan kekerasan militer di Tanah Papua tidak bisa dipandang peristiwa masa lalu. Menurutnya, rakyat Papua tidak bisa dihibur dengan kunjungan kerja Presiden dan penyelenggaraan PON XX Papua. 

Apalagi, korban berbagai kasus kekerasan baru terus berjatuhan di Tanah Papua, baik di Kabupaten Puncak Jaya, Puncak, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang di Provinsi Papua, maupun di Maybrat, Provinsi Papua Barat.

Akan tetapi, rangkaian kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Papua pada 1 – 4 Oktober 2021 justru tidak menyentuh persoalan mendasar itu. Surabut menilai Presiden menutup mata atas masalah Papua, lalu menghibur rakyat dengan PON dan kunjungan kerja. 

“Presiden [seperti] merawat kekerasan, [bekerja] tanpa mencari solusi [atas kekerasan di Papua],” ungkap Surabut. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply