Papua No. 1 News Portal | Jubi
Sentani, Jubi – Sejak dibangun lima los atau bangunan permanen di Pasar Pharaa Sentani, Kabupaten Jayapura, pada pertengahan 2012 lalu, kondisi pasar yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai pasar modern dan terbesar di Papua itu masih semrawut.
Aktivitas pedagang di pasar tidak diatur dengan baik. Barang-barang dagangan memenuhi lapak dan los dengan acak. Seperti yang disampaikan seorang pedagang sayur mayur di los D, Yustina.
“Awalnya tertib, tetapi sekarang seperti pasar yang sudah berdiri puluhan tahun lamanya,” kata perempuan asal Kampung Taruna, Kelurahan Hinekombe itu, Senin 27 Januari 2019.
Jumlah pedagang di Pasar Pharaa Sentani pada 2016 lalu, mencapai 384 orang. Para pedagang ini berjualan berbagai jenis barang. Angka tersebut belum ditambah dengan 135 pedagang barang jadi dan kelontongan, yang berjualan di sisi kanan terminal Pasar Pharaa.
Pertengahan Oktober 2016 lalu, rencana pembangunan terminal disampaikan pemerintah daerah, bersama relokasi pedagang dari terminal ke pasar induk. Pemerintah bersikukuh merelokasi pedagang namun pedagang bertahan. Alasan pedagang, sebentar lagi menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Kemudian relokasi dilakukan awal Desember, alhasil banyak pedagang yang merugi.
Sampai sekarang belum ada data pasti berapa jumlah pedagang yang bertambah di Pasar Pharaa. Padahal ada beberapa titik pasar liar di Kota Sentani yang ditertibkan pemerintah akhir tahun lalu. Sejumlah pimpinan di instansi teknis yang menangani pasar sudah diganti beberapa kali. Namun langkah itu tidak mampu membawa perubahan.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura, Yos Levi Yoku, yang dilantik pada Maret 2018 lalu menggantikan Piter Yom pejabat sebelumnya, mengaku upaya perbaikan dan penataan pasar sedang dilakukan.
“Penertiban dan penataan bangunan sesuai dengan jenis barang yang dijual, terus kami lakukan,” katanya, saat dijumpai di los B Pasar Pharaa, belum lama ini.
Upaya tersebut, katanya, tidak mudah dilakukan sebab karakter dan prinsip orang-orang yang berdagang berbeda-beda, sehingga membutuhkan waktu dan kesabaran dalam menghadapinya.
Saat ini, kata dia, dari lima bangunan permanen masih tiga yang belum penuh ditempati para pedagang. Bahkan di sela-sela lima bangunan permanen, telah dibangun lapak-lapak kecil ukuran 1 x 2 meter untuk kios, pedagang pinang, penjual minuman kopi dan teh, serta pedagang kelontongan dan bahan jadi seperti pakaian atau sepatu.
“Yang menempati lapak-lapak itu, mereka yang menjadi korban relokasi dari terminal, lantas tidak mendapat tempat berjualan. Kami juga menyarankan agar bentuk lapak yang dibangun, harus sesuai dengan bangunan permanen,” kata Yoku.
Rata-rata pedagang memilih berjualan di bangunan 5 atau los E. Los ini digunakan bagi pedagang ‘tiba berangkat’ atau pedagang yang tidak tetap.
“Aktivitas jual beli yang padat di los E, karena pedagang memanfaatkan pembeli yang turun dari taksi, dan letaknya lebih dekat dengan bangunan tersebut,” katanya.
Carut marutnya kondisi Pasar Pharaa, sejak awal sudah dirasakan Kepala UPTD Pasar Pharaa, Daniel Sokoi. Sejak mengawal dan mengawasi proses pembangunan, ia mengaku kewalahan menghadapi para pedagang yang susah diatur.
“Setiap hari saya bersama sejumlah petugas memberikan saran dan masukan bagi pedagang, agar menaati aturan yang sudah ditetapkan. Tetapi masih saja mereka membuat aturan sendiri,” katanya, di Sentani, Kamis 30 Januari 2019.
Dua tahun lalu, ia pernah mengusulkan adanya penambahan petugas pasar, baik petugas keamanan, pembagi karcis dan pengangkut sampah. Ditunjang fasilitas lainnya seperti armada pengangkut, bak pembuangan sampah sementara, air bersih, dan aliran listrik.
“Maksimal 20-30 petugas yang mengawasi areal pasar yang luasnya hampir lima hektare ini. Belum lagi sampah yang dihasilkan, sementara minim tenaga pengangkut serta armada. Kondisi tetap tidak akan berubah, selama usulan yang disampaikan dua tahun lalu tidak dijawab,” sampainya.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengatakan, untuk mengantispasi adanya kecemburuan sosial dan agar tertibnya penataan tempat berdagang, maka Ikatan Keluarga atau Kerukunan Keluarga dari berbagai daerah di Kabupaten Jayapura harus dilibatkan.
“Pedagang datang dari berbagai suku yang menetap di sini. Sehingga harus melibatkan Kerukunan Keluarga untuk melakukan pendataan terhadap para pedagang. Ini dilaporkan kepada pemerintah untuk memudahkan proses penataan,” katanya. (*)
Reporter: Engel Wally
Editor: Kristianto Galuwo