Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mengingatkan pemerintah mempertimbangkan kembali pelibatan TNI dalam proyek lumbung pangan atau food estate.
Ia mengatakan, pemerintah mesti belajar dari program cetak sawah beberapa tahun lalu. Dalam program itu, TNI juga dilibatkan.
Akan tetapi Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menemukan berbagai masalah dalam program cetak sawah.
Pernyataan itu dikatakan Gufron Mabruri dalam diskusi daring “Peran TNI dalam Proyek Food Estate,” Rabu (13/10/2021).
“Pemerintah mestinya belajar dalam program [cetak sawah dengan] pelibatan militer. Ada 17 temuan BKP yang memuat 21 masalah. Temuan itu misalnya luasan sawah yang belum sesuai ketentuan, dan ada kerugian miliaran. Ini mestinya jadi bahan evaluasi,” kata Gufron Mabruri.
Katanya, pada batasan tertentu pelibatan militer diperlukan mengatasi eskalasi ancaman. Akan tetapi pelibatan militer harus memenuhi sejumlah hal.
Setidaknya ada enam unsur, yakni situasi darurat atau kondisi objektif. Namin dalam kondisi normal, sipil yang harus memegang kendali penuh.
Unsur lain adanya permintaan institusi sipil. Ini untuk memastikan bahwa situasi yang dihadapi di luar kapasitas institusi sipil untuk menanganinya. Berdasarkan keputusan politik otoritas sipil, agar ada legitimasi.
“Ini sebagai bentuk kontrol sipil terhadap militer. Untuk memastikan pertanggungjawaban terhadap publik. Bersifat sementara, gak boleh permanen, proporsional artinya pengerahan militer mesti sesuai tingkat ancaman,” ucapnya.
Ia mengatakan, kini yang menjadi pertanyaan, apa urgensi dan legitimasi pelibatan militer dalam program lumbung pangan yang direncanakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2020 itu.
“Memang sejak awal, program lumbung pangan ini memunculkan banyak kritik terutama dari masyarakat sipil di tingkat nasional hingga daerah,” ucapnya.
Katanya kritik itu misalnya datang dari Walhi dan Koalisi Masyarakat Sipil. Kedua pihak ini berpendapat proyek lumbung pangan di kawasan hutan dan lahan gambut itu, dapat merusak lingkungan, menambah deforestasi, menambah kerugian negara, berpotensi konflik dan meminggirkan rakyat.
“Setiap pelibatan perbantuan militer, mesti didasarkan kebijakan politik negara. Kebijakan DPR bersama pemerintah yang dirumuskan melalui rapat kerja kedua pihak. Tidak bisa militer dilibatkan begitu saja dalam konteks pengamanan dalam negeri, pengamanan otoritas sipil tanpa ada keputusan politik negara,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, M. Haripin juga mengatakan, pelibatan militer dalam berbagai kebijakan tentu boleh. Akan tapi ada berbagai syaratnya. Hanya saja selama ini pemerintah tidak melakukan sejumlah syarat itu.
“Langsung lompat, tidak melalui tahapan yang ada yang mesti dilakukan. Dan MoU saja tidak cukup, minimal bentuknya peraturan presiden,” kata Haripin.
Ia mengatakan, salah satu alasan pelibat militer dalam program lumbung pangan, untuk membantu pemerintah daerah.
“Akan tetapi, kita refleksikan lagi bahwa kebijakan ini benar benar desentralisasi dan pemda sendiri hanya melaksanakan perintah,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga