Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Hasil rapat Suku Besar Yerisiam Gua di Kabupaten Nabire-Papua, khususnya sub-suku Waoha pada (26/6/2020), telah menyetujui tiga kesepakatan. Pertama, akan melakukan pemetaan untuk wilayah yang akan dijadikan sebagai museum alam. Kedua, mengangkat ketua-ketua marga (fam/kerek). Ketiga, melakukan survei dan pemetaan di wilayah atau area sub-suku Waoha.
“Dari hasil rapat itu, pada Sabtu (4/7/2020) kemarin kami sudah melakukan pemancangan di area yang akan dijadikan museum alam. Ini sebagai tindak lanjut dari hasil kesepakatan poin pertama,” ujar juru bicara suku besar Yerisiam Gua, Sambena Inggeruhi, di Nabire-Papua, Selasa (7/7/2020).
Menurutnya, hal itu perlu dilakukan untuk melindungi alam dan habitat di dalamnya. Sebab saat ini hutan sudah rusak dan pihaknya ingin menunjukkan kepada anak cucu agar mereka kelak tidak hanya memelihat dari foto (gambar) serta mendengar cerita kalau alam dan isinya pernah ada di wilayah itu.
“Kami pikir bahwa kalau hutan dibiarkan rusak maka anak cucu hanya akan lihat dari foto atau cerita,” tuturnya.
Inggeruhi mengatakan pihaknya telah menyadari sebagai orangtua telah ikut membiarkan hutan dan isinya dirusak. Misalnya, dengan masuknya sawit, penebangan hutan, baik disengaja ataupun tidak, dan pemburuan satwa liar di dalamnya.
Sehingga, dengan kesepakatan bersama untuk melindungi sebagian hutan yang berkolasi di antara Kali (Sungai Bambu) dan Kampung Wami ini akan benar-benar dijaga agar tidak rusak segala jenis pohon dan satwa di dalam areal tersebut. Kesadaran itu timbul dari masyarakat dan pengurus Suku Besar Yerisiam.
“Jadi kami bersepakat untuk melindungi dan tidak merusak, baik oleh kami atau siapapun mulai saat ini. Ini merupakan kesadaran yang timbul dari masyarakat dan kami semua akan bertanggungjawab untuk hal ini,” katanya.
Kepala Suku Waoha, Imanuel Money, menambahkan sisa hutan yang ada di wilayahnya sudah tidak banyak lagi. Maka, sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersepakat dan menjaga hutan beserta isinya. Pihaknya akan selalu menjaga keputusan bersama itu agar anak-anak kelak tidak hanya mendengar nama jenis kayu dari buku atau dari foto, tetapi melihat langsung bahwa inilah alam mereka.
“Kami sebagai orang-orang tua sudah sadar. Jadi jangan sampai anak cucu ke depan hidup di daerah tandus tidak berpohon. Sehingga, kesepakatan ini akan kami laksanakan dan saat ini sedang kami persiapkan segala keperluan untuk melindungi areal ini dari siapapun termasuk kami sendiri untuk tidak merusak,” tandasnya. (*)
Editor: Dewi Wulandari