Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan Papua dinilai bukan hal baru. Kejadian yang merugikan secara martabat perempuan itu sering terjadi secara berulang di bumi cenderawasih.

“Pelecehan terhadap perempuan Papua bukan hal baru. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap perempuan Papua sejak 1962 hingga 2020. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perlakukan kekerasan verbal non verbal oleh pria yang tidak adil,” kata Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua, Naci Jacqueline Hamadi, kepada Jubi, Selasa (7/7/2020).

Baca juga :  Koalisi Perempuan Papua tuntut MJY meminta maaf atas status facebooknya

Koalisi organisasi perempuan Sulsel menekan perkawinan anak

Koalisi Penegak HAM desak Polda Papua menindak dugaan pelecehkan tahanan perempuan

Hamadi menyebut, kekerasan verbal maupun non verbal terhadap Perempuan Papua sudah pernah ditulis dalam buku “Stop Sudah” yang diterbitkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) periode pertama.

“Disitu sudah termuat secara mendetail bagaimana perlakukan pelanggaran HAM terhadap Perempuan Papua. Tetapi perempuan Papua sangat kuat menghadapi situasi seperti ini,” kata Hamadi menambahkan.

Menurut dia, perlakukan ketidak adilan terhadap perempuan Papua memmuculkan sejumah pegiat pembela perempuan Papua. Seperti  Abina Wasanggai, Erna Mahuse, Mama Erari, Yosepha Alomang, dan sejumlah nama lain yang berdiri tegak membicarakan mengenai hak-hak perempuan Papua.

Hamadi minta kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan Papua seharusnya dihentikan dan tak terulang lagi. Apa lagi perempuan Papua mempunyai sejarah kelam kekerasan yang tak hanya dilakukan oleh aparat keamanan, namun juga dalam rumah tangga serta di lingkungan sosial.

“Kami dipukul. Tetapi kami setia dirumah melayani keluarga, karena perempuan Papua dari pagi hingga sore beraktivitas, jualan, masak makanan. Kegiatan tutinitas ini yang terus dilakukn. Kami tidak pernah mengeluh,” kata Hamadi menjelaskan.

Ironisnya, saat ini banyak anak Papua yang berpendidikan tinggi memandang perempuan rendah.  Hal itu dibuktikan dengan aduan pada Senin (6/7/2020) kemarin ada kliennya yang melaporkan mengalami kekerasan. “Ia datang melapor mengaku dipukul oleh keluarga,” katanya.

Ketua Pokja Perempuan dan Anak  Dewan Adat Papua, Irene Waromi, mengatakan perempuan Papua wajib dilindungi oleh hukum sehingga tidak rentan kerhadap kekerasan, baik dilakukan verbal maupun non verbal.

“Saya harap laki-laki Papua bisa menghargai saudara perempuannya. Jangan ada lagi kekerasan, intimidasi atau KDRT, sebab perempuan pewaris turunan OAP,” kata Waromi.

Menurut Waromi DPRP, DPRD MRP harus melakukan hearing Publik yang berkaitan dengan hak-hak perempuan. Hal itu dinilai penting karena ke depan perempuan Papua akan menghadapi tantangan yang berat.

“Hak-hak perempuan dijamin dalam undang-undang agar benar benar perempuan merasa dilindungi,” katanya. (*)

Editor : Edi Faisol

Leave a Reply