Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Sopir angkutan umum di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua mengeluhkan pendapatan yang saat ini makin tidak menentu. Beberapa dari mereka mengaku, ojek sudah memonopoli seluruh penjuru kota Nabire.
Seorang sopir angkutan kota (angkot) menyebutkan banyaknya tukang ojek yang beroperasi tanpa trayek dan memasuki seluruh kawasan di Nabire, menutup pendapatan sopir angkot.
“Seluruh Nabire, ojek ada di mana-mana, termasuk terminal umum Oyehe,” ujar Syamsuddin, sopir trayek Terminal Oyehe-Siriwini.
Menurut dia, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nabire seharusnya membuat peraturan yang mengatur soal angkutan kota dan ojek. Setidaknya, pengojek tidak memasuki kawasan jalur utama atau mereka beroperasi di luar trayek angkutan umum dan berada di kompleks masing-masing.
“Ini tanpa alasan, pasalnya, ojek di Nabire tidak membayar pajak kepada pemerintah, tetapi hanya menyetor kepada pengurusnya. Sementara sopir angkot dan mobilnya wajib membayar pajak dan retribusi kepada daerah tiap bulannya. Bahkan untuk sekali masuk terminal diwajibkan membayar iuran sebesar Rp2.000,” kata Syamsuddin.
Ia mengaku sopir di seluruh trayek angkutan umum di Nabire mengeluhkan hal serupa. Pendapatannya dalam sehari sebesar Rp100 ribu, yang diperoleh dari paling banyak dua kali jalan mengangkut penumpang.
Hal ini jelas berpengaruh terhadap ekonomi keluarga. Syamsuddin mengatakan jalan keluar untuk mengatasi minimnya pemasukan ini, ia minta istrinya berjualan es di rumah.
“Kalau tidak begini bagaimana mau makan. Anak saya tiga dan hanya sopir. Kalau istriku tidak mengerti (kondisi ini), mungkin kami sudah cerai. Tapi saya bersyukur, istri paham. Dulu pernah saya ojek malam cari tambahan tapi karena pandemi (Covid-19) saya berhenti,” ujar pria asal Makassar ini.
Baca juga: DPRD minta Bupati Nabire selesaikan tugas sebelum tinggalkan jabatan
Seorang sopir lainnya, Jafar, mengaku mengalami hal serupa dengan Syamsuddin. Menurutnya, bukan saja ojek yang memonopoli jasa angkutan umum di Nabire, tetapi juga mobil lintas daerah ketika kapal putih masih singgah di Pelabuhan Nabire, sebelum pandemi Covid-19.
Mobil lintas daerah ini sering mengambil penumpang di Samabusa. Bahkan pengojek berani mengantar penumpang dari kota Nabire ke Samabusa dengan tarif Rp20 ribu per orang.
Akibatnya, angkutan umum di Terminal Oyehe-Samabusa hanya bisa melayani satu kali jalan. Dengan penumpang sembilan orang dan tarif Rp10 ribu per kepala, penghasila sopir menjadi sangat kecil.
“Jadi kami satu mobil antar dari pagi jam 07.00 nanti jam 10.00 baru penumpang penuh dan jalan. Jadi penumpang sering diambil ojek. Ojek juga masuk ke terminal, mereka tidak pusing,” tutur sopir angkutan jurusan Oyehe-Samabusa ini.
Ia mengaku sudah seringkali mengadukan masalah ini ke Pemkab Nabire, namun belum ada respons dan memberi jalan keluarnya.
Jafar menuturkan seringkali para sopir adu mulut bahkan berkelahi dengan para pengemudi ojek. Namun di sisi lain, Jafar memahami bahwa semuanya mencari makan.
“Terpaksa kami selalu mengalah karena sudah capek. Masak cari makan saja harus kita ribut,” katanya.
Syamsuddin dan Jafar berharap Pemkab Nabire, Provinsi Papua segera memperhatikan keluhan ini. Selain itu, Wabup Nabire, Amirullah Hasyim, yang juga menjabat sebagai Ketua Organda Nabire, agar segera turun tangan mengatasi persoalan ini.
“Wabup jangan membiarkan kami ibarat anak ayam kehilangan induknya,” kata Syamsuddin dan Jafar. (*)
Editor: Dewi Wulandari