Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) DPR Papua (DPRP), Laurenzus Kadepa, menyatakan para pengambil kebijakan di Papua mestinya bersinergi memperjuangkan hak 8.300 karyawan yang diputus hubungan kerja (PHK) sepihak oleh manajemen PT Freeport Indonesia atau PTFI, 2017 silam.
Ribuan karyawan PTFI, kontraktor, dan privatisasi itu di-PHK sepihak oleh perusahaan, lantaran melakukan mogok kerja atau moker. Aksi ketika itu, sebagai respons terhadap wacana manajemen perusahaan yang akan merumahkan pekerja dengan alasan efisiensi.
Laurenzus Kadepa mengatakan sejak 2018 silam perwakilan karyawan moker telah beberapa kali bertemu pihaknya di DPRP. Akan tetapi hingga kini belum ada sikap yang diambil lembaga dewan.
“Secara pribadi, saya mendampingi karyawan moker ini sejak 2018. Sebab sebagai perwakilan daerah pemilihan III di antaranya Kabupaten Mimika, saya punya tanggung jawab terhadap mereka. Karyawan moker ini adalah orang asli Papua dan non-Papua yang sebagian besar lahir dan besar di Papua,” kata Laurenzus Kadepa kepada Jubi melalui panggilan teleponnya, Sabtu (27/3/2021).
Menurutnya, upaya memberikan keadilan terhadap ribuan karyawan tersebut mesti diperjuangkan bersama Pemprov Papua, DPRP, dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sebab ini berkorelasi dengan masalah kemanusiaan.
Dampak dari PHK itu, tidak hanya dirasakan ribuan karyawan moker, juga anak dan istri mereka. Para karyawan tidak bisa lagi memberikan jaminan hidup layak kepada keluarganya.
“Bagi saya nasib ribuan karyawan ini sama pentingnya dengan pengungsi Nduga dan Intan Jaya. Saya minta semua pangambil kebijakan melihat masalah ini dari aspek kemanusiaan, jangan hanya dari sisi politik,” ujarnya.
Gubernur Papua, MRP, dan DPRP secara kelembagaan diharapkan segera bersikap. Gubernur sebenarnya telah mengeluarkan surat keputusan pada 2018 lalu.
Surat itu berisi tiga poin yaitu memerintahkan manajemen PT Freeport dan perusahaan subkontraktor segera membayar upah dan hak-hak seluruh karyawan moker sebagaimana termuat dalam buku Perjanjian Kerja Bersama/PKB 2015-2017 dan Pedoman Hubungan Industrial/PHI.
PT Freeport juga diminta segera mempekerjakan kembali seluruh karyawan moker dan dilarang melakukan rekrutmen karyawan baru sebelum permasalahan ketenagakerjaan tersebut diselesaikan. Akan tetapi, surat keputusan itu diabaikan pihak perusahaan.
Kadepa mengatakan kalau para pengambil kebijakan di tingkat provinsi, patut dipertanyakan ada apa dibalik sikap itu. Jangan terkesan para pihak ini tunduk pada PT Freeport Indonesia.
Ia mengakui secara internal Komisi I DPRP belum membahas masalah sesuai disposisi ketua DPRP. Akan tetapi secara pribadi ia menyatakan tetap mendorong penyelesaiannya sebab selama ini terlibat mendampingi karyawan moker itu.
“Tahun lalu saya bersaksi di PTUN Jayapura ketika kasus ini masuk ranah pengadilan. Pemkab Mimika, Pemprov Papua mesti menyelamatkan hak-hak karyawan ini,” ucapnya.
Baca juga: Gubernur Papua tegaskan tidak ada lagi negosiasi dengan Freeport
Satu di antara perwakilan karyawan moker PTFI, Antonius Awom, mengatakan pihaknya sudah berulangkali menyampaikan aspirasi ke DPRP, sejak 2018, dengan harapan lembaga itu dapat menyelesaikannya.
Akan tetapi hingga kini belum ada kejelasan penyelesaian dari lembaga wakil rakyat tersebut. Meski DPRP telah membentuk Panitia Khusus atau Pansus pada 2018 silam, namun tak ada solusi yang dihasilkan.
“Ketika kami bertemu pada 2020 lalu, DPRP berjanji akan kembali membentuk pansus. Akan tetapi hingga kini kami tidak tahu seperti apa perkembangannya. Kami selalu menanyakannya, namun tidak mendapat jawaban jelas,” kata Antonius Awom, beberapa hari lalu.
Menurutnya, selamamemperjuangkan adanya keadilan dalam empat tahun terkahir, sudah lebih dari 78 orang karyawan moker meninggal dunia. Ini belum termasuk anak atau istri mereka.
“Ada berbagai penderitaan kami alami selama ini. Ada teman kami yang anak anaknya tidak lagi sekolah karena tak ada biaya. Tidak bisa berobat ketika sakit dan berbagai kendala lain,” ujarnya. (*)
Editor: Dewi Wulandari