Pemkab Keerom diminta danai Kipra Papua untuk petakan tanah adat

Kipra Papua
Sosialisasi "Program Memperkuat Eksistensi Masyarakat Adat Sebagai Wujud Pengakuan Dan Perlindungan Untuk Mengelolah Sumber Daya Alam Bagi Peningkatan Ekonomi" yang diselenggarakan Kipra Papua di Arso, ibu kota Kabupaten Keerom, Kamis (27/8/2020). - Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Arso, Jubi – Ketua Dewan Adat Keerom Servo Tuamis meminta Pemerintah Kabupaten Keerom segera melakuan pemetaan tanah adat untuk mencegah konflik agraria di Keerom. Tuamis berharap Pemerintah Kabupaten Keerom mau memberikan bantuan dana kepada Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat atau KIPRa Papua untuk melakuan pemetaan tanah adat itu.

Hal itu dinyatakan Servo Tuamis di sela-sela sosialisasi “Program Memperkuat Eksistensi Masyarakat Adat Sebagai Wujud Pengakuan Dan Perlindungan Untuk Mengelolah Sumber Daya Alam Bagi Peningkatan Ekonomi” yang diselenggarakan KIPRa Papua di Arso, ibu kota Kabupaten Keerom, Kamis (27/8/2020).

Read More

“Pemetaan tanah adat harus segera di lakukan. Karena potensi konflik sudah sangat tinggi. [Harus ada] peraturan [daerah untuk] perlindungan adat, agar tidak seenaknya memberikan tanah,” kata Tuamis kepada Jubi Tuamis mencontohkan, pada bulan lalu terjadi sengketa tanah antara masyarakat asli Keerom dan masyarakat asli Papua dari luar Keerom, hingga sejumlah warga terkena panah.

Tuamis mengatakan, pemerintah harus membuka diri dengan lembaga mitra seperti lembaga swadaya masyarakat. Tuamis menyatakan Pemerintah Kabupaten Keerom memberikan dukungan pendanaan agar KIPRa Papua bisa melakukan pemetaan tanah adat dan batas wilayah adat, agar masyarkat tahu sisa adat, serta tanah mana yang dipakai oleh pemerintah oleh negara.

“Kami tidak menginginkan agar masalah ini bisa terselesaikan. Agar generasi Keerom ke depan bisa menikmati perdamaian, bukan lagi masalah yang merumitkan mereka,” kata Tuamis.

Baca juga: Kipra memperkuat masyarakat adat di Kampung Wembi dengan pelatihan hidroponik 

Ia menyatakan masyarakat adat di Keerom pun tidak menginginkan terjadinya konflik agraria. “Kami harap agar konflik tidak terjadi. Meskipun konflik sudah terjadi, yang harus diwaspadai adalah persoalan perampasan tanah adat [oleh] orang Papua [atau] orang yang datang dari pulau lain ke Keerom,” kata Tuamis.

Tuamis mengatakan saat ini Keerom didiami masyarakat asli Keerom, transmigrasi umum, dan trasmigrasi perkebunan. Selain itu, juga ada masyarkat asli Papua dari berbagai suku di Papua. Tuamis menyatakan pembukaan perkebunan kelapa sawit di Keerom berdampak negatif terhadap masyarakat adat di Keerom.

“Keerom ini wilayah Daerah Operasi Militer, karena dulu [menjadi] markas Tentara Pembebasan Nasional atau TPN. Pada tahun 1982, terjadi pelepasan tanah adat untuk pekebunan sawit. Akhirnya masyarakat adat menjadi korban,” kata Tuamis.

Tuamis menyatakan sejumlah sertifkat Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit di Keerom telah berakhir jangka waktunya. Ia mengingatkan, masyarakat adat setempat mempersepsi jika jangka waktu HGU berakhir, maka penguasaan tanah harus dikembalikan kepada masyarakat adat setempat.

“Masyarakat Piribun kasih masuk ekskavator [untuk] membongkar kelapa sawit. Masyarakat adat meminta dibayar Rp3 miliar untuk menggunakan tanah [itu], karena statusnya masih tanah adat, apabila perusahaan sudah tidak beroperasi lagi,” katanya.

Baca juga: KIPRa Papua akan dampingi masyarakat Wembi manfaatkan sumber daya kampung

Tuamis mengatakan, di pihak lain ada sejumlah warga pendatang membuka lahan di areal perkebunan kelapa sawit itu, dengan mendasarkan kepada HGU sebelumnya. “Bagaimana sertifikat itu harus dimanfaatkan, itu juga harus disosialisasikan sebaik mungkin. Masyarakat [asli Keerom] memahami bahwa ketika HGU berakhir, maka tanah adat kembali kepada masyarakat adat, bukan pemerintah. Bahkan, dari masyarakat adat belum pernah memberikan [tanahnya] kepada pemerintah atau masyarakat nusantara,” kata Tuamis.

Tuamis menyatakan harus ada pembicaraan bersama para pemangku kepentingan untuk memperjelas status tanah eks perkebunan kelapa sawit itu. “Ini perlu dibicarakan baik. Apakah sertifikat HGU itu hak milik, atau seperti apa pemahaman masyarakat asli non asli, agar mereka memahami HGU ini berapa tahun, [dan] jangan klaim sebagai hak milik [agar] tidak terjadi konflik,” kata Tuamis.

Tuamis mengatakan Yayasan KIPRa Papua sudah melakukan pembinaan kepada masyarkat sejak tahun 2017, antara lain dengan program pemberdayaan untuk menumbuhkan perekonomian masyarakat adat. “Kami meminta Pemerintah Kabupaten Keerom untuk memberikan dukungan pendanaan kepada KIPRa Papua supaya membantu masyarakat Keerom dalam peningkatan ekonomi,” kata Tuamis.

Direktur KIPRa Papua, Irianto Jacobus mengatakan program penguatan dan perlindungan masyarakat adat dijalankan Kipra di Kampung Wembi, Distrik Manem, Keerom. “Dalam program ini, ada dua aspek penting yang digagas dan digulirkan berdasarkan pengamatan, kajian, serta kondisi obyektif masyarakat adat Keerom. Masyarakat adat masih membutuhkan mitra untuk mendiskusikan berbagai persoalan. Terutama bagaimana menjaga sumber daya alam (tanah, hutan dll) yang dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat adat dan memberikan keuntungan yang optimal,” katanya.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply