Pemerintah tidak berwenang melabel KKB sebagai teroris

Label Teroris untuk Kelompok Bersenjata di Papua
Poster Dialog Publik Dialog Publik Stop Pelanggaran HAM, Papua Tanah Damai yang diselenggarakan DPD GAMKI DKI Jakarta secara daring pada Rabu (5/5/2021). - Dok. DPD GAMKI Jakarta

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Yogyakarta, Jubi – Ketua Umum Peradi Perjuangan, Sugeng Teguh Santoso menyatakan pemerintah atau eksekutif tidak berwenang untuk melabel kelompok kriminal bersenjata di Papua sebagai kelompok teroris. Hal itu dinyatakan Sugeng selalu salah satu pembicara dalam Dialog Publik Stop Pelanggaran HAM, Papua Tanah Damai yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia atau DPD GAMKI Jakarta secara daring pada Rabu (5/5/2021).

Sugeng menyatakan penetapan sebuah organisasi sebagai kelompok teroris harus mengacu kepada ketentuan Pasal 12A ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang (UU Terorisme). Berpegang ketentuan pasal itu, Sugeng menyatakan penetapan sebuah organisasi sebagai teroris merupakan wewenang lembaga peradilan.

Read More

“Pasal 12A ayat (2) menyatakan ‘setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh tahun’. Jadi, yang bisa menetapkan organisasi atau korporasi sebagai teroris itu lembaga peradilan,” kata Sugeng.

Baca juga: Pemerintah sebut kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris

Ia menegaskan bahwa UU Terorisme juga tidak mengatur pasal yang memberi wewenang bagi pemerintah untuk melabel organisasi sebagai teroris. “Jadi, yang ada adalah amanah Pasal 12A ayat (2) itu, bahwa yang dipidanakan adalah menjadi anggota organisasi atau korporasi yang ditetapkan atau diputus pengadilan sebagai organisasi teroris. Saya menafsir, yang berwenang menetapkan organisasi sebagai teroris hanyalah lembaga peradilan,” kata Sugeng.

Sugeng juga menilai langkah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD mengumumkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris akan memicu masalah baru dan memperpanjang kasus kekerasan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Salah satu penyebabnya, penetapan KKB di Papua sebagai teroris akan memperluas pertanggungjawaban pidana kepada orang yang dianggap berkaitan dengan kelompok bersenjata atau aspirasi kelompok bersenjata di Papua.

“Tujuan kelompok bersenjata di Papua itu jelas, menuntut hak menentukan nasib sendiri. Jika mereka dilabel teroris, pertanggungjawab pidana [akan menjangkau] orang yang dianggap memiliki hubungan dengan kelompok bersenjata di Papua. Itu menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Sugeng.Ia mencontohkan, dalam konteks penerapan UU Terorisme, orang yang menyuarakan tuntutan yang sama dengan kelompok bersenjata di Papua bisa dianggap berkaitan dengan kelompok bersenjata, dan ditindak sebagai teroris. “Akan terjadi ketidakpastian hukum, misalnya bagi orang yang menyebarkan ucapan. Contoh, jika mahasiswa menyampaikan aspirasi di Jakarta tentang tuntutan Papua merdeka, mereka bisa dikenai Pasal 13A UU Terorisme,” kata Sugeng.

Baca juga: TPNPB dilabeli teroris demi menutupi kasus pelanggaran HAM di Papua

Sugeng juga mengkhawatirkan aparat penegak hukum akan semakin mengabaikan prinsip penghormatan HAM dalam menjalankan proses hukum terhadap orang yang mereka anggap teroris. “Pengalaman selama ini, apakah proses penangkapan di Papua menghormati standar HAM?” Sugeng bertanya.

Sugeng menilai pelabelan teroris yang dibuat pemerintah kepada kelompok bersenjata juga tidak memenuhi konsideran maupun rumusan unsur tindak pidana terorisme dalam UU Terorisme. “Kelompok Kriminal Bersenjata itu yang mana, tidak jelas. Menkopolhukam tidak menyebut nama organisasi, dia hanya menyebut KKB. Ketika itu disampaikan di ruang publik, juga tidak dijelaskan, penetapan itu dalam bentuk apa? Apakah itu Peraturan Presiden, atau seperti apa? Bagi saya, penetapan itu tidak jelas dan menimbulkan masalah. Kalau penetapan itu tidak dicabut, akan mencederai prinsip Negara Hukum,” kata Sugeng.

Selaku pembicara dalam dialog yang sama, advokat dan aktivis HAM Papua, Veronica Koman menyatakan pelabelan teroris terhadap kelompok bersenjata di Papua berbahaya, karena akan menjadi pembenaran baru bagi aparat keamanan untuk melakukan kekerasan di Papua. Hal itu berbahaya, mengingat banyaknya praktik impunitas dalam kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi di Papua.

Baca juga: Tolak label teroris, Keuskupan Timika serukan pemerintah harus lindungi umat Tuhan

“Itu semacam license to kill baru di Papua. Aktor pelanggaran HAM di Papua, yaitu TNI/Polri, selama ini sudah terlindungi praktik impunitas. Banyak korban sipil yang ditembak aparat dilabeli OPM, apalagi kalau sekarang ada label teroris, akan mudah sekali dilabeli teroris,” kata Veronica.

Veronica juga menyebut pelabelan kelompok teroris itu berdampak luas terhadap orang asli Papua. “Akibat pelabelan itu, sudah muncul tindakan diskriminasi di Asrama Mahasiswa Papua di Bali, di sana ada poster yang melabeli orang Papua sebagai teroris. Itu dampak yang sangat berbahaya,” kata Veronica.

Senada dengan Sugeng, Veronica juga mengkhawatirkan akan semakin banyaknya pengabaian prinsip penegakan HAM dalam proses hukum terhadap orang yang menyuarakan aspirasi Papua merdeka. “Berkaca dari penangkapan pasca insiden rasisme 2019, di hampir semua kasus kriminalisasi [aktivis Papua merdeka], terjadi pelanggaran prosedur Hukum Acara Pidana. Apalagi kalau pakai hukum acara terorisme, sangat berbahaya. Penetapan itu harus dicabut,” kata Veronica. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply