Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Rima Nusantriani Banurea*
Dalam imajinasi, pacaran pasti menyenangkan. Akan tetapi, apakah kenyataannya semua hubungan pacaran menyenangkan?
Belum tentu. Sering tanpa sengaja di jalan kita menyaksikan pasangan muda-mudi bertengkar; atau ada teman kita yang bercerita dipukul pacar; atau bahkan kita mengikuti pasangan pacaran yang saling memaki di beranda facebook.
Belum lagi kita menggosipkan anak tetangga yang putus kuliah karena terlanjur hamil. Kita begitu terbiasa dengan kenyataan-kenyataan tersebut. Kita tahu dalam pacaran ada kekerasan, tapi kita hanya sebatas bicara. Kita tidak terbiasa mencari solusinya. “Kekerasan dalam rumah tangga saja tra beres-beres, mo bahas kekerasan pacaran lagi”, begitu mungkin pikiran kebanyakan kita.
Padahal, menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan tahun 2017, kekerasan dalam pacaran merupakan kekerasan tertinggi kedua setelah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dengan 2.171 kasus di seluruh Indonesia, atau setara 21 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan. Untuk kasus kekerasan pacaran di Papua, hingga saat ini belum ada data terintegrasi.
Akan tetapi, setidaknya dalam lingkup kecil, kekerasan dalam pacaran bisa disorot. Penelitian penulis bersama Fitrine Christiane Abidjulu pada tahun 2020 berupaya melihat kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih. Penelitian itu berpijak kepada asumsi sederhana: kekerasan dalam pacaran ada dan dapat ditemukan di sekitar kita.
Konsep dan Jenis Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan menurut John Galtung adalah setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural, atau spiritual yang melemahkan, mendominasi, atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain. Masih menurut Galtung, kekerasan dibagi lagi yakni kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural.
Kekerasan langsung berarti kekerasan yang jelas pelaku dan korbannya. Sedangkan kekerasan struktural dan kekerasan kultural adalah kekerasan yang diakibatkan hadirnya budaya partiarki yang membuat relasi laki-laki dan perempuan timpang.
Dalam konteks kekerasan dalam pacaran, ketiga kekerasan itu saling tumpang tindih. Biasanya baik pelaku maupun korban sudah memiliki konsep pacaran yang salah (kultural), sehingga berimbas pada posisi hubungan tidak seimbang (struktural). Pada akhirnya, kekerasan kultural dan kekerasan struktural itu tercermin dalam perilaku, melatarbelakangi terjadinya kekerasan langsung.
Salah satu konsep penting yang sering disalahartikan dalam pacaran adalah cinta. Menurut Yayasan Pulih tahun 2018, pacaran yang menggunakan kekerasan seringkali mengadopsi konsep cinta sebagai kepemilikan. Oleh sebab itu dalam pacaran, biasanya cinta dibuktikan dengan keharusan berhubungan seksual, mengikuti semua kemauan pacar hingga meyakini bahwa teriakan dan pukulan adalah bentuk cinta. Konsep cinta sesat itulah yang membuat pacaran tidak lagi menyenangkan.
Penelitian penulis bersama Abidjulu menemukan bahwa setidaknya terdapat enam jenis kekerasan yang terjadi di kalangan mahasiswa. Kekerasan pertama adalah kekerasan psikis. Kekerasan yang salah satu bentuknya adalah perselingkuhan itu menjadi bentuk kekerasan tertinggi, yakni mencapai 46,5 persen dari total kasus. Kekerasan kedua adalah kekerasan verbal. Bentuk kekerasan yang berupa makian dan teriakan itu terjadi hingga mencapai 31,8 persen dari total kasus.
Selanjutnya kekerasan ketiga adalah kekerasan fisik. Kekerasan itu umumnya berbentuk pukulan dan jumlahnya mencapai 27,4 persen dari total kasus. Kekerasan keempat adalah kekerasan digital. Kekerasan itu dilakukan dengan menguntit pasangan di media sosial dan memaksa memberitahu kata sandi akun media sosial. Kekerasan itu jumlahnya mencapai 22,9 persen dari total kasus.
Kekerasan kelima adalah kekerasan seksual, yang berbentuk pemaksaan hubungan seksual, yang jumlahnya mencapai 10,8 persen dari total kasus. Kekerasan yang keenam adalah kekerasan finansial, mewujud dalam tindakan yang memanfaatkan uang pacar, dan jumlahnya mencapai 8,9 persen dari total kasus.
Keenam jenis kekerasan tersebut, khususnya kekerasan seksual, bisa jadi berjumlah lebih banyak daripada data yang telah disampaikan. Hanya saja, faktor malu, segan, dan tidak terbiasa membicarakan masalah itu membuat kekerasan dalam pacaran sulit terungkap, apalagi terselesaikan.
Jika Mengalami Kekerasan dalam Pacaran
Umumnya, upaya dan sikap yang diambil oleh korban kekerasan dalam pacaran adalah bercerita kepada orang lain. Penelitian penulis bersama Abidjulu menemukan bahwa 60,9 persen korban memilih bercerita pada sahabat atau teman. Kemudian 21,7 persen korban memilih melapor kepada orangtua. Sejumlah kecil korban melapor kepada polisi, tetua adat, bapak RT/RW, dan dosen.
Akan tetapi, ada 24,8 persen korban kekerasan dalam pacaran memilih diam. Prosentase korban yang memilih diam itu mengalahkan persentase korban yang melapor kepada orangtua, apalagi korban yang melapor kepada polisi, tetua adat, bapak RT/RW, dan dosen.
Data itu mengarah kepada dua kesimpulan awal. Pertama, hubungan pertemanan ternyata sangat penting bagi sistem dukungan bagi korban kekerasan dalam pacaran. Artinya teman sebaya masih memiliki pengaruh kuat karena di dalamnya terbangun kepercayaan yang juga kuat. Dalam hal-hal buruk tentu keberadaan teman sebaya sangat negatif. Namun dalam kondisi kritis, relasi teman sebaya sangat membantu individu korban kekerasan untuk bertahan.
Kedua, berkurangnya kepercayaan dari mahasiswa kepada lembaga seperti keluarga, kepolisian, bahkan pihak kampus menjadi alasan kuat bagi korban untuk tidak melapor. Mengapa? Pertanyaan itu hendaknya menjadi renungan buat kita semua, dan perlu dibahas tersendiri. Namun, jika terlanjur berada dalam situasi pacaran dengan kekerasan, berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan:
- Kekerasan dalam pacaran bukanlah aib. Justru kekerasan adalah bentuk penghancuran bagi mental, fisik, bahkan masa depan. Oleh sebab itu jika terjadi kekerasan walau masih dalam skala kecil, silakan bercerita atau meminta tolong pada teman/keluarga/dosen/pihak keagamaan yang bisa dipercaya. Solusi mungkin tidak serta merta bisa langsung didapatkan. Akan tetapi, setidaknya jika bercerita kepada orang lain, permasalahan akan lebih bisa dilihat secara komprehensif.
- Stop menyalahkan diri sendiri. Seringnya korban kekerasan dalam pacaran tergoda menyalahkan diri jika terjadi kekerasan. Mereka mengatakan, “ah, sa yang salah. Sa yang tidak dengar dia. Sa yang terlalu melawan dia”. Hati-hati dengan pemikiran itu, karena dapat melegalkan pelaku/pacar untuk sewenang-wenang melakukan tindak kekerasan. Selalu ingat, bahwa tidak ada manusia yang layak untuk dipukul, dicaci maki, atau direndahkan. Apalagi dalam status pacaran. Seharusnya bukan pukulan atau cacian yang terjadi dalam pacaran, melainkan relasi menyenangkan untuk bertumbuh, belajar, saling menjaga dan menyayangi.
- Keluar dari hubungan. Jika kekerasan dalam pacaran sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bicara baik-baik, maka silakan keluar dari hubungan. Namun sebaiknya dibicarakan dahulu dengan teman atau keluarga untuk mengantisipasi hal-hal buruk.
- Berani sendiri. Takut single atau takut lajang menjadi pembenaran paling kuat bagi banyak orang untuk bertahan dalam hubungan kekerasan. Pemikiran itu salah. Oleh sebab itu latihlah diri untuk berpikir: “bikin apa pacaran kalau cuma dapat pukul? Cape deh. Lebih baik single tapi bahagia. Daripada pacaran baru dapat pukul. Adoh bikin hidup berantakan saja”. Jadi belajarlah bahwa tidak apa-apa jika sendiri. Ada banyak hal menarik untuk dipelajari. Ada banyak orang yang tulus menyayangi seperti teman dan keluarga. Apresiasilah orang-orang tersebut. Apresiasi juga diri dengan kelebihan dan kekurangan. Pacar bukan segalanya. Justru kebahagiaan diri yang paling penting.
* Penulis adalah pengajar di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih.
Editor: Admin Jubi