Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar, berpendapat Otonomi Khusus atau Otsus bukan kompromi politik antara Papua dan pemerintah pusat.
Menurutnya, Otsus Papua merupakan solusi terakhir untuk orang asli Papua (OAP), ketika pemerintah tak lagi memiliki pilihan lain meredam gejolak aspirasi Papua merdeka pada 20 tahun lalu.
Pernyataan itu dikatakan Anum Siregar dalam dikusi daring Papua Strategc Policy Forum #5″Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM & Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua” pada Senin (20/7/2020).
Diskusi yang digelar Gugus Tugas Papua Universitas Gajah Mada (UGM) ini menghadirkan beberapa pembicara.
Mereka adalah Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM RI), Michael Manufandu (Tokoh Papua/Duta Besar senior), Victor C Mambor (Jurnalis senior Papua), dan Gabriel Lele (Peneliti Gugus Tugas Papua UGM).
Baca juga: Michael Manufandu: Setiap orang Papua berpendapat dianggap mau memisahkan diri
“Menurut saya, kalau orang bilang Otsus kompromi politik, [itu] tidak tepat. Otsus itu jalan buntu sebenarnya. Negara tidak tahu [lagi] apa yang akan diberikan kepada Papua. Jadi ya, sudah diberikan Otsus,” kata Anum.
Katanya, berbagai pihak selalu beranggapan sudah banyak dana Otsus digelontorkan ke Papua. Kini para pejabat di Papua terutama kepala daerah, semua merupakan orang asli Papua.
Namun itu bukan jaminan, karena ketika pejabat salah melaksanakan aturan, itu merupakan kesalahan manajemen pemerintahan.
Akan tetapi menurut Anum, keliru jika orang Papua dianggap tidak mampu melaksanakan tanggung jawab yang diberikan.
Ia sepakat perlu ada autokritik pada pemerintahan daerah. Di sinilah tanggung jawab negara. Mesti ada sanksi tegas terhadap pemerintahan yang buruk.
“Misalnya terhadap dugaan korupsi dana Otsus, pemerintah pusat jangan bilang tidak apa asal jangan minta merdeka, itu keliru. Aturan tetap harus ditegakkan,” ucapnya.
Menurutnya, jika ingin Papua lebih baik ke depan pemerintah pusat mesti mengajak orang asli Papua bicara, atau berdialog. Jangan memaksakan kebijakan yang ditolak para pihak di Papua. Misalnya melanjutkan Otsus.
“Orang Papua sudah tidak mau Otsus [karena selama ini banyak kewenangan dalam Otsus yang tidak dilaksanakan], kenapa dipaksakan. Kenapa tidak memikirkan pilihan lain,” ujarnya.
Baca juga: Orang asli Papua dan pemerintah pusat tak ingin Otsus
Jurnalis senior Papua, Victor Mambor, mengatakan Otsus ibarat lepas kepala pegang ekor. Pemerintah pusat memberikan UU Otsus kepada Papua Akan tetapi kewenangan dalam UU itu, tidak sepenuhnya bisa diimplementasikan di Papua.
Ada kebijakan-kebijakan tertentu dalam UU Otsus, yang masih dipegang oleh pemerintah pusat.
Baca juga: Victor Mambor beberkan tantangan meliput di Papua
Ia mencontohkan sejak beberapa tahun lalu pemerintah provinsi dan DPR Papua telah mengesahkan Perdasi Kependudukan, untuk membatasi migrasi masuk ke Papua.
Akan tetapi hingga aturan itu tidak dapat dilaksanakan di Papua, karena Kementerian Dalam Negeri belum meregistrasi Perdasi itu untuk diundangkan dan dimasukkan ke lembaran daerah.
“Bicara Otsus hanya tiga, perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan. Tapi bagaimana kita bisa mewujudkan semua itu kalau arus migrasi dari luar Papua terus masuk ke Papua,” kata Mambor. (*)
Editor: Dewi Wulandari