Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: I Ngurah Suryawan
Mambesak dalam perjalanannya merekrut banyak anggota yang tidak hanya berasal dari suku Biak, tetapi hampir dari seluruh suku di Tanah Papua. Mereka bekerja dengan menugaskan anggota-anggotanya untuk turun ke kampung-kampung menginventarisasi lagu-lagu daerah dan gerak-gerak tariannya.
Fokus para anggota Mambesak ini adalah mencatat lagu tersebut dan merekam bagaimana suara masyarakat yang memainkannya pada sebuah tape perekam sederhana. Energi suara dari lagu-lagu daerah inilah yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengaransemen ulang lagu tersebut ketika sudah sampai di Jayapura.
Gerakan inventarisasi lagu-lagu dan tarian berbagai etnik ini dilakukan oleh anggota Mambesak yang menyebar ke berbagai wilayah di Tanah Papua.
Pada saat liburan semester, beberapa anggota dari Mambesak di kampungnya masing-masing mencatat lagu-lagu daerah dan menggali data tentang budaya dan kesenian lain yang ada di daerah mereka. Kembali ke Jayapura mereka akan membawa tulisan lagu-lagu tersebut dan data-data seni dan budaya lainnya.
Jika tidak kembali dalam waktu yang lama, ada orang yang dititipkan untuk membawa catatan lagu tersebut agar sampai di Jayapura. Tidak hanya sampai di sana. Mereka yang kembali ke Jayapura untuk melanjutkan kuliah akan langsung mempraktikkan pengetahuan yang mereka dapatkan di kampung. Mereka akan menyanyi, menari, dan berbagi pengalaman mereka selama di kampung kepada teman-teman yang lain di Museum Loka Budaya atau di tempat lain.
Arnold Ap dan kawan-kawannya akan mengarahkan mereka untuk menirukan gaya-gaya tarian dan syair dari nyanyian daerah masing-masing. Mereka sudah membagi diri dalam bidang musik, tari, lagu-lagu, dan teater.
Usaha untuk mengumpulkan data-data ini berlangsung secara terus-menerus. Keseluruhan pengetahuan ini kemudian dikumpulkan dan lagu-lagu daerah kemudian diaransemen ulang oleh kelompok Mambesak hingga menjadi popular.
Abner Korwa mengisahkan:
Satu atau dua orang datang dari kampung. Pengumuman di RRI. Kita kembali ke museum dan kita pentas.
Pertama-tama orang-orang yang datang dari kampung itu akan mengolah tari-tarian dan lagu-lagu yang mereka dapatkan secara bersama-sama di kelompok Mambesak. Setelah siap dengan gerakan tari dan aransemen lagu-lagu daerah, mereka akan mengumumkan kepada publik melalui RRI untuk mengadakan pementasan di “istana” mereka yaitu Museum Loka Budaya Uncen.
Mambesak juga bergerak ke sekolah-sekolah di Jayapura, mulai dari SD hingga SMA, untuk memberikan pengajaran tentang lagu-lagu dan gerak-gerak dasar tarian Papua. Para mahasiswa Uncen yang dikoordinir oleh Arnold Ap dan kawan-kawan di kelompok Mambesak masuk ke sekolah-sekolah dalam pelajaran kesenian dan budaya.
Langkah ini dilakukan untuk melebarkan sayap tidak hanya di kampus, tapi juga memperkenalkan pendidikan kesenian kepada anak-anak sekolah. Perlahan namun pasti kehadiran Mambesak mulai mendapatkan perhatian dari publik.
Kelompok Mambesak kemudian mendapatkan kepercayaan dari pemerintah daerah untuk membuat tarian kolosal dengan melibatkan anak-anak sekolah (SMP dan SMA) di Kota Jayapura. Tarian kolosal Papua itu akan dipentaskan dalam pembukaan Porseni (Pekan Olahraga dan Seni). Mereka kemudian bersemangat dan melatih anak-anak sekolah untuk menari tarian Papua.
Latihan ke sekolah-sekolah semakin diintensifkan. Kelompok Mambesak kemudian memilih siswa-siswa untuk dilatih tarian kolosal tersebut.
Abner Korwa menuturkan bahwa keterlibatan Mambesak dalam Porseni menjadi salah satu catatan penting dari upaya dan idealisme Arnold Ap dan kawan-kawan. Idealisme tersebut adalah untuk mendekatkan seni dan budaya Papua kepada generasi penerus anak-anak Papua itu sendiri.
Tarian kolosal yang dipersiapkan oleh kelompok Mambesak bersama dengan siswa-siswa dalam pembukaan Porseni tahun 1979 sampai 1980-an tersebut mendapat sambutan dari masyarakat luas. Pada saat itu formasi yang dibawakan adalah tarian dan musik yang merupakan kombinasi dari cara memukul tifa dari pantai selatan dan pegunungan Papua.
Momen itu menjadi salah satu penanda gebrakan Mambesak pasca kelahirannya tahun 1978. Gairah kesenian semakin memuncak ketika itu. Semakin munculnya nama Mambesak juga berbarengan dengan kuatnya konsolidasi militer Indonesia, yang ketika itu sudah mencurigai Mambesak sebagai bagian dari gerakan kebudayaan orang Papua.
Momentum pelangi budaya
Selain kegigihan para anggota Mambesak untuk turkam (turun kampung) menggali lagu-lagu daerah, satu hal penting yang tidak dapat dilepaskan adalah momentum acara Pelangi Budaya. Momentum inilah yang semakin melambungkan nama Mambesak ke seluruh penjuru Tanah Papua.
Selain lagu-lagu daerah, para mahasiswa yang aktif di kelompok Mambesak juga ditugaskan untuk menginventarisasi gerak tarian suku mereka masing-masing. Gerakan inventarisasi budaya ini dilakukan secara berkelanjutan setiap liburan semester. Hasilnya sungguh sangat mengagumkan: sekumpulan lagu-lagu Mambesak dari hampir seluruh wilayah dengan bahasa daerah yang kaya.
Ditambah lagi dengan pementasan yang semakin mengumandangkan syair Mambesak sebagai ekspresi kedaulatan identitas dan budaya orang Papua di negeri ini.
Salah satu yang turut mengiringi perkembangan Mambesak hingga menjadi berkumandang ke seluruh tanah Papua adalah radio dan televisi. RRI Papua lebih dulu memberikan kontribusi dengan memberikan ruang kepada kelompok Mambesak melalui acara Pelangi Budaya yang secara rutin memperdengarkan lagu-lagu folk daerah di Papua yang sangat kaya.
Arnold Ap dan kawan-kawan menyelipkan mop-mop (cerita lucu ala Papua) di pertengahan acara tersebut. Acara ini selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Papua yang sangat merindukan kemasan musik dan lagu daerah-daerah mereka ke publik.
Pada tahun 1975 televisi (TV) mulai masuk ke Papua. Abner Korwa ingat betul saat itu berdekatan dengan kemerdekaan negara Papua Nugini (PNG).
Popularitas Mambesak yang semakin merebut hati masyarakat Papua adalah pertanda bahaya bagi negara. Melalui apparatus kekerasannya, TNI AD dan pasukan khususnya, Kopassanda menghilangkan Mambesak dengan membunuh Arnold Ap dan Eddy Mofu. Pada masa itu, militer sedang menancapkan pengaruhnya dengan mengontrol berbagai kegiatan yang dianggap bertentangan dengan kekuasaan.
Abner Korwa dengan kiasan mengungkapkan bahwa Mambesak menemukan kejayaannya melalui syair-syair yang terus berkumandang di seantero Tanah Papua. Tema-tema lagu dengan bahasa daerah masing-masing kelompok etnik di Papua membuat nama mereka semakin membumbung tinggi.
Namun, selain lagu-lagu yang mengisahkan tentang keindahan alam Papua, ada juga lagu yang diciptakan sendiri. Salah satunya adalah lagu tentang sagu yang diciptakan oleh Mambesak sebagai bentuk dukungan terhadap kampanye pelestarian sagu. Mambesak secara langsung terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang membuatnya dekat dengan LSM.
Mambesak tampil sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil yang menyuarakan isu-isu lingkungan yang terancam dengan kehadiran perusahaan ekstraktif. Mambesak secara rutin terlibat dalam kegiatan kampanye-kampanye lingkungan dengan sumbangsih lagu, musik dan tari-tarian. Peran inilah yang sangat vital dilakoni oleh Mambesak dalam menggaungkan isu-isu lingkungan di Tanah Papua.
Salah satu kegiatan yang Mambesak terlibat di dalamnya adalah KEKERKAPAL (Kemah Kerja Kelompok Pencinta Alam). Sebagian besar anggota Mambesak adalah mahasiswa Uncen. Mereka membangun hubungan dengan Mapia (Mahasiswa Pelestari Alam) Uncen.
Pada saat kegiatan itu berkumpul hampir seluruh mahasiswa pencinta alam di Indonesia, diantaranya dari Universitas Padjajaran (Unpad), ITB (Institut Teknologi Bandung), dll. Hubungan Mambesak dengan gerakan masyarakat sipil ini adalah fase transformatif yang berjalan seiring dengan populernya grup ini di kalangan masyarakat Papua.
Kepopulerannya beriringan dengan gairah rakyat Papua menunjukkan identitas budayanya di tengah cengkraman kekuasaan. Selesai. (*)
Penulis adalah antropolog dan peneliti politik kebudayaan Papua. Produktif menulis sejumlah buku, dan buku terbarunya “Siasat Elit Mencuri Kuasa: Dinamika Pemekaran Daerah di Papua Barat (2020)”
Editor: Timoteus Marten