Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dalam peringatan hari ulang tahun grup musik Mambesak ke-42, Kerabat Alumni Antropologi Unviersitas Cenderawasih pada Rabu (5/8/2020) menggelar diskusi daring dan meluncurkan buku “Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan Kebudayaan Orang Papua Proto”. Diskusi di Museum Universitas Cenderawasih itu mengulas bagaimana musik Mambesak mampu menyatukan orang Papua.
Diskusi daring itu antara lain menghadirkan personil Mambesak, Demianus Kurni dan Constantinopel Ruhukail. Demianus Kurni menceriterakan alasan dirinya begabung bersama dengan Mambesak, yang didorong kepedulian dan kecintaannya tehadap Tanah Papua dan manusia Papua.
Kurni menyebut grup Mambesak menyatukan orang Papua. “Kami pilih Mambesak karena menyatukan semua orang. Orang Papua bisa mengerti tentang identitasnya satu sama orang lain. Dengan memahami Papua Proto yang terpinggirkan karena perkembangan zaman, Mamabesak hadir satukan kami,” kata Kurni saat berbicara dalam diskusi itu.
Baca juga: Ditulis 9 tahun, buku sejarah Mambesak bisa menjadi cikal bakal Mambesakologi
Kurni mengatakan, grup Mambesak yang didirikan pada 5 Agustus 1978 itu menjadi cara untuk mewujudkan rasa cinta para musisinya terhadap Papua. Rasa cinta itu dialunkan ke dalam musik, agar generasi muda Papua bisa meneruskan karya pelayanannya. “Kami membentuk mambesak, [agar] jangan sampai budaya asing menghanyutkan budaya asli papua,” katanya.
Kurni mengatakan, setelah 42 tahun berlalu, generasi muda Papua harus membangkitkan kembali semangat grup Mambesak. “Kami perintis mengharapkan agar generasi muda melanjutkan karya seni ini sebagai bentuk warisan. Terima kasih [atas] perhatian kalian semua. Kami berpesan, jangan malu kalau pertahankan tradisi. Pakai cawat malu. Kita harus berani untuk perkenalkan tradisi,” katanya.
Constantinopel Ruhukail mengatakan nama Mambesak dipilih oleh para personel kelompok musik itu, yang kebanyakan merupakan mahasiswa Universitas Cenderawasih. Kata ‘mambesak’ sendiri berasal dari bahasa Biak, yang bermakna hiasan kepala atau mahkota yang digunakan oleh kepala suku. Mambesak juga bermaksa seseorang yang mempunyai kekuasaan dalam adat, atau lambang kebesaran dan kewibawaan.
“Saya ikut Mambesak [karena] inisiatif saya sendiri, dan saya mengambil keputusan [berdasarkan] keyakinan [saya]. Saya yakin [dengan] apa yang dilakukan Mambesak, mengangkat budaya tradisional [di tengah] deburan badai moderenitas yang kian melaju,” kata Ruhukail.
Ruhukail menilai modernisasi justru telah menyisihkan orang Papua. Hal itulah yang membuatnya ingin terlibat menghidupkan kembali budaya Papua yang mau hilang.
Baca juga: Perayaan HUT ke-42 Mambesak di Manokwari digelar siang ini
“Saya mengenal almarhum Arnold Ap, bukan setelah saya mengenal antropologi. Saya mengenalnya ketika Arnold C Ap [sejak saya] mengikuti paduan suara kristen di Gereja GKI Harapan Abepura,” katanya.
Menurut Ruhukail, Arnold Ap merumuskan visi Mambesak setelah membaca buku yang tulis oleh FC Kama.“Yakni menyanyikan [hari] kemarin, hari ini, dan hari [yang] akan datang. Hal-hal [itulah] yang membuat saya terpanggil bergabung bersama Mambesak,” katanya.
Ruhukail mengusulkan agar buku “Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan Kebudayaan Orang Papua Proto” yang ditulis 11 penulis terpilih dilengkapi dengan wawancara para tokoh Mambesak yang masih hidup. “Mambesak mempunyai anggota dari berbagai daerah. Itulah Mambesak, Satu dalam lagu dan tarian. Ada peserta daerah yang menyanyikan lagu dari Mambesak itu sendiri,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G