Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Di lahan seluas 3 hektare yang persis berada di tepi jalan Koya Barat, Kota Jayapura itu berdiri Rumah Sakit Ramela Muara Tami, Koya Barat milik Pemerintah Kota Jayapura. Rumah Sakit Tipe C tersebut diresmikanan Walikota Jayapura, Benhur Tommi Mano pada 12 November 2020. Akan tetapi, lahan rumah sakit itu masih menjadi sengketa.
Warga yang tergabung dalam Kelompok 30 mengklaim bahwa Pemerintah Kota Jayapura telah menyerobot tanah milik mereka. Koordinator Kelompok 30, Maikel Ansanay menuturkan tanah seluas 3 hektar itu dibeli orangtuanya dari almarhum Lewi Ramela pada 1991, setelah pulang mengikuti pelatihan khusus peternakan ayam di Jakarta selama 3 bulan.
Menurutnya, tanah itu dibeli dengan uang Rp10 juta yang diberikan oleh Menteri Koperasi Republik Indonesia saat itu, Bustanil Arifin. Ansanay menjelaskan tanah itu dibeli dari mendiang Lewi Ramela seluas 3 hektar. Bidang tanah itu kemudian dibagi untuk 30 orang, dan masing-masing orang mendapatkan persil tanah berukuran 50 x 20 meter.
Baca juga: Pemkot Jayapura diminta selesaikan sengketa lahan pembangunan RS Ramela Muara Tami
“Kelompok 30 juga mendapat surat pelepasan adat dari almarhum Lewi Ramela lalu kemudian mengurus sertifikat,” kata Maikel Ansanay.
Atas dasar surat pelepasan adat itu kemudian diterbitlah 30 Sertifikat Hak Milik (SHM) pada 1994. Penerbitan SHM itu didukung oleh Surat Keputusan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Irian Jaya sebagai surat pengakuan Hak Atas Tanah Adat nomor 881/HM/1994.
Maikel mengatakan pada 2016 Pemerintah Kota Jayapura memasang spanduk dengan keterangan “di tanah ini akan dibangun rumah sakit bertaraf internasional”. Menurutnya, spanduk itu dipasang tanpa pemberitahuan kepada pemilik tanah.
Baca juga: RS Ramela Muara Tami target akreditasi paripurna
Saat itu, para warga yang kini tergabung dalam Kelompok 30 sudah melakukan protes. Setelah protes, barulah para anggota Kelompok 30 mengetahui bahwa Pemerintah Kota Jayapura pernah membeli tanah dari pihak lain. Merasa tak pernah menjual tanah mereka, Ansanay dan kawan-kawan pun menelusuri transaksi tanah Pemerintah Kota Jayapura.
Setelah ditelusuri, Kelompok 30 menemukan adanya perbedaan lokasi tanah dalam sertifikat yang dimiliki mereka dengan sertifikat milik Pemerintah Kota Jayapura. Menurut mereka ada yang merekayasa peta sehingga seolah-olah lokasi tanah yang dibeli pemkot berada di atas tanah mereka.
“Kami melihat ini ada rekayasa, bidang tanahnya ada di tempat lain di rekayasa supaya berada di pinggir jalan. Jalan memang ada tapi lokasi tanahnya bukan di situ, diberi keterangan supaya ada di pinggir jalan,” ujar Maikel.
Sudah diukur ulang
Maikel mengatakan Kelompok 30 memiliki peta yang membuktikan bahwa tanah yang dibeli orangtua mereka adalah bidang tanah yang kini menjadi lokasi Rumah Sakit Ramela Muara Tami. Ansanay menyatakan hal itu sudah terbukti dengan hasil pengukuran ulang yang dilakukan petugas BPN Kota Jayapura pada 12 April 2016. Hasil pengukuran itu menunjukan bahwa lokasi tanah milik Kelompok 30 sesuai dengan data yang ada di komputer atau peta yang ada di BPN.
“Mereka (petugas) memastikan lokasi dengan [perangkat] GPS Garmen waktu itu. Petugas memberikan peta dasar yang ada di komputer kepada kami pada waktu itu,” katanya.
Akan tetapi, urasan tak lantas selesai. Dalam pertemuan bersama Pemerintah Kota Jayapura, Ombusdman Papua bersama Kantor Wilayah (Kanwil) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Papua, Kelompok 30 meminta agar peta dasar itu dibuka. Akan tetapi, permintaan itu ditolak Kantor Wilayah ATR/BPN Papua.
Baca juga: RS Ramela Muara Tami butuh Rp20 miliar untuk operasional
“Kepala Kawil [ATR/BPN Papua] disuruh buka peta menghindar terus. Malah mereka katakan peta tanah Pemkot Jayapura bukan berada di peta ini tapi ada di peta lain lagi. Itu kan lucu sekali,” ujar Maikel.
Ia menyampaikan Pemerintah Kota Jayapura harus bisa menyelesaikan persoalan ini bersama Kelompok 30 sebagai pemilik tanah. Maikel bahkan meminta agar operasional rumah sakit diberhentikan dulu sampai sengketa itu diselesaikan.
“Bapak Wali Kota harus konsisten, kita selesaikan baik-baik. Kalau tidak ya kami kejar terus, dan kami akan buat aksi lain. Kami melihat ini negara hukum, bukan negara yang tidak mengerti hukum. Kami minta pejabatnya harus sadar, kalau salah ya mengaku salah, dan jujur membenahi. Bagaimana masyarakat mau diajarkan benar, kalau pejabatnya sendiri gak benar,” katanya.
Baca juga: Pemkot Jayapura resmikan Rumah Sakit Ramela Muara Tami
Anggota Kelompok 30 lainnya adalah Najib Suaery, ahli waris tanah dari ayahnya almahurum Haji Laau Suaery. Najib mengatakan pada 2015 ia berencana membangun rumah di atas tanah milik keluarganya itu. Ia kemudian membuat pagar, tetapi pagar itu malah dibongkar orang.
“Saya rencana mau bangun rumah di situ, saya bikin pagar sesuai dengan ukuran tanah kami. Tapi setelah dua hari saya bangun, hari ketiga orang bongkar, di kasih rata semua. Saya sudah lapor di polisi hanya sampai detik ini masih mencari siapa pelaku,” ujarnya. Suaery merasa menjadi pemilik tanah yang malah diusir dari lokasi dengan cara menghancurkan pagarnya.
Yulius Ansanay, anggota Kelompok 30 yang juga saudara sepupu Maikel Ansanay menyatakan letak tanah Kelompok 30 sudah benar, karena ia sudah pernah mengurus pembuatan sertikfat pengganti pada 2 Maret 2016, gara-gara sertifikat tanah aslinya hilang.
Baca juga: Kunjungi Papua, Wamen ATR/BPN bahas pemetaan wilayah adat
Yulius menuturkan, dalam pengurusan sertifikat pengganti itu petugas BPN Kota Jayapura mengacu pada peta lokasi yang hari ini menjadi tempat Rumah Sakit Ramela Muara Tami berdiri. “Pada 2 Maret 2016, saya pergi ke pertanahan buat sertifikat baru karena saya punya sertifikat hilang. Saya bikin baru terus mereka kasih tunjuk peta . Peta masih ada di ruangan, mereka cabut dari lemari dan kasih tunjuk kepada saya. Dong tunjuk lansung bilang ini tempat (lokasi) ada ini,” ujarnya.
Yulius mengatakan setelah melihat peta petugas kemudian mengarahkan membuat sertifikat baru. Dari mengurus surat kehilangan di Polres Jayapura, memasukan berita kehilangan di media masa, membayar administrasi dan membayar pajak. Ia membutuhkan waktu pengurusan kurang lebih 4 bulan hingga sertifikat yang baru diterbitkan.
Salinan dokumen sertifikat yang dilihat Jubi menunjukan ada perbedaan lokasi kedua tanah. Sertifikat yang dimiliki kelompok 30 di dalam dokumen berada di posis E.1. Sementara milik Pemerintah Kota Jayapura berada di E/4,5 dan D,E/4,5.
Tidak ada kejelasan
Dalam proses penyelesaian tanah sengketa tersebut, pihak Pemerintah Kota Jayapura telah menyurati Kantor Wilayah (Kanwil) Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Papua. Surat bernomor 590/2081 yang salinanya dikeluarkan pada 02 November 2020, dan ditandatangi Wali Kota Jaypura, Benhur Tomi Mano.
Dalam surat itu, Wali Kota Jayapura meminta Kanwil ATR/BPN Papua agar mempercepat penyelesian sengketa kepemilikan atas lahan RS Ramela Muara Tami dengan melakukan klarifikasi. Klarifikasi ini untuk memberikan kepastian bagi Pemkot Jayapura maupun Kelompok 30 terkait keberadaan Sertifikat Hak Pakai Nomor 302/RDP91 – 71/VIII/2014 milik atas nama Pemkot Jayapura dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1510 sampai dengan 1539 yang dipegang Kelompok 30.
Jubi telah berupaya meminta konfirmasi dari Kanwil ATR/BPN Papua pada 15 Maret 2022, untuk mendapatkan penjelasan soal penyelesaian sengketa tersebut. Jubi sempat mewawancarai salah satu pegawai Kanwil ATR/BPN Papua, namun belakangan keterangan dan informasi dalam wawancara itu dicabut dan dinyatakan tidak bisa dikutip. Hingga berita ini diturunkan, Jubi belum mendapatkan keterangan resmi Kanwil ATR/BPN terkait sengketa lahan Rumah Sakit Ramela Muara Tami.
Baca juga: Menteri Sofyan akui ada oknum ATR/BPN terlibat mafia pertanahan
Jubi juga berusaha meminta tanggapan Wali Kota Jayapura pada 26 Januari 2022. Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano meminta Jubi bertemu Sekretaris Daerah Pemkot Jayapura, Frans Pekey untuk mendapatkan penjelasan. Pekey kemudian mengarahkan Jubi untuk menemui Kepala Bagian Hukum Setda Kota Jayapura, Hellena Dawir MH,
Akan tetapi, Hellena Dawir justru menyatakan pihaknya tidak bisa memberikan penjelasan atas masalah itu. “Nanti ketemu dengan kasubag karena dia yang ikuti persoalan ini,” kata Dawir kepada Jubi saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa 15 Maret 2022.
Jubi sempat bertemu Kepala Sub Bagian Hukum Bantuan Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Jayapura, Maria Magdalena. Akan tetapi, Magdalena merasa tidak berwenang menjelaskan masalah itu.
Pelaksanaan Harian Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Papua, Melania Pasifika Kirihio mengatakan Ombudsman Papua menerima laporan Kelompok 30 sejak 2018. Kirihio menjelaskan setelah menerima laporan Ombudsman Papua kemudian melanjutkan pemeriksaan awal (klarifikasi) kepada pihak yang dilaporkan dalam masalah Kelompok 30 adalah Pertanahan Kota Jayapura dan Pemerintah Kota Jayapura.
Saat ini, Ombudsman Papua sedang merampungkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang bersisi tentang ada tidaknya maladministrasi dalam permasalahan ini. “Untuk temuan akan disampaikan jika LAHP kami sudah rampung,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G