Komnas HAM: Kehadiran Kogabwilhan III mereduksi kewenangan institusi lain

Papua
Suasana pertemuan Tim Komnas HAM Papua dengan Kogabwilhan III di Timika, Rabu (7/10/2020) - Dok Komnas HAM Perwakilan Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua menyatakan kehadiran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan atau Kogabwilhan III di Papua telah mereduksi atau mengambil kewenangan institusi lain.

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan banyak satuan tugas atau Satgas TNI dari luar yang diperbantukan ke Papua. Ramandey menyatakan Satgas TNI yang diperbantukan di Papua itu berada di bawah komando Kogabwilhan III, dan tidak berkomunikasi secara lancar dengan aparat keamanan di Papua.

Read More

“Problemnya sekarang itu banyak Satgas dan kehadiran Kogabwilhan itu mengambil [alih]. Dia mereduksi kewenangan kewenangan Polda [dan] Kodam,” kata Ramandey saat dihubungi melalui panggilan teleponnya, Senin (21/12/2020).

Baca juga: Komnas HAM Perwakilan Papua masih dalami klarifikasi Kogabwilhan III

Ramandey menyatakan keberadaan Satgas TNI dari luar Papua yang diperbantukan ke Papua itu telah menyebabkan terjadinya sejumlah kekerasan terhadap warga sipil. Kasus kekerasan itu terjadi karena prajurit TNI dari luar Papua tidak memahami kultur dan budaya masyarakat di Papua.

Ramandey membandingkannya dengan Satgas TNI dan Polri yang terdiri dari para tentara dan polisi setempat, yang dinilainya yang mampu bertugas dengan baik di Papua. “Satgas Namengkawi sebenarnya adalah Satgas yang sangat baik. Dalam beberapa operasi penegakan hukum, mereka cukup terukur,” ujarnya.

Menurutnya, sebagian besar anggota Satgas Namengkawi merupakan anggota TNI-Polri yang memang bertugas di Papua. Mereka memahami persis bagaimana aktivitas sehari-hari orang asli Papua.

“Misalnya [masyarakat yang beraktivitas biasa] bawa parang, bawa tombak, bawa panah, senjata angin dan lainnya. Berbeda dengan Satgas yang didatangkan dari luar. Contoh kasus yang ada di bawah Kogabwilhan,” ucapnya.

Menurut Ramandey, tidak adanya koordinasi antara Satgas TNI di lapangan dengan pasukan organik di Papua telah ia sampaikan kepada Panglima TNI dalam pertemuan di Mimika pada 28 November 2020 silam. Menurutnya, Panglima TNI Hadi Tjahjanto menyatakan akan memberikan arahan agar tugas operasi Satgas yang diperbantukan di Papua terukur dan terencana.

“Kami juga telah berkoordinasi dengan Komandan Kogabwilhan III Letjen TNI Ganip Warsito, dan bertemu dengan sejumlah jenderal yang ada di lingkungan itu. Kami sudah memberi masukan,” kata Ramandey.

Sementara itu, Koordinator Tim Kemanusiaan untuk Papua, Haris Azhar menduga kekerasan di Papua dalam beberapa waktu terakhir berkorelasi dengan kebijakan keamanan yang diterapkan di Papua. Haris mencontohkan kasus pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani, di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, 19 September 2020 silam.

Baca juga: Penembakan warga Nduga, Komnas HAM Papua berupaya temui Pangkogabwilhan

Kasus yang diduga melibatkan oknum TNI itu ditengarai bukan peristiwa pidana tunggal, atau tindakan acak. Haris menyatakan ada rentetan peristiwa yang berkorelasi dengan sejumlah kebijakan.

“Misalnya, Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2019 tentang pembentukan Kogabwilhan III dan peningkatan status 23 Komando Resor Militer (Korem) tipe B menjadi tipe A,” kata Haris Azhar dalam diskusi daring belum lama ini.

Menurutnya, kebijakan pembentukan Kogabwilhan III di wilayah Indonesia bagian Timur termasuk Papua, perlu dilihat kembali. “Turunan dari kebijakan itu berkaitan dengan aktivitas militer di lapangan. Diantaranya mobilisasi dan penambahan personil militer dalam skala besar di Intan Jaya. Dampaknya, memunculkan serangkaian kekerasan,” ujarnya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply