Komnas HAM Papua: Jangan ada upaya menghalangi peringatan Biak berdarah

Kantor KOMNAS HAM Perwakilan Papua
Ilustrasi, kantor Komnas HAM perwakilan Papua - Jubi. Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua minta tak ada upaya menghalangi peringatan 23 tahun tragedi Biak berdarah pada 6 Juli 2021.

Kepala Kantor Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, mengatakan ia telah dihubungi oleh mereka yang berencana menggelar peringatan Biak berdarah.

Read More

“Saya sudah dihubungi, mereka yang akan memperingati peristiwa Biak Berdarah. [Kemungkinan] akan ada peringatan pada 6 Juli 2021. Kami Komnas HAM Perwakilan Papua minta kepada para pihak terkait [terutama aparat keamanan] kalau ada peringatan, tolong difasilitasi,” kata Frits Ramandey melalui panggilan teleponnya kepada Jubi, Minggu (4/7/2021).

Menurutnya, rencana peringatan 23 tahun Biak berdarah merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para korban yang hingga kini tak kunjung mendapat keadilan.

“Kami juga minta kepada mereka [yang akan melakukan peringatan] tetap memperhatikan protokol kesehatan. Aksi mesti berlangsung damai, tidak menghalangi hak orang lain, dan peringatan tidak boleh dilakukan lama lama,” ujarnya.

Katanya, dibalik belum adanya kepastian terhadap para korban Biak berdarah, pemerintah kabupaten juga mengabaikan mereka selama bertahun-tahun.

“Pemkab Biak sendiri tidak memperhatian mereka mereka yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Sebenarnya bukan hanya Biak, tapi mereka mereka yang menjadi korban atas situasi Papua saat itu,” ucapnya.

Baca juga: Komnas HAM Papua sebut kasus Biak Berdarah jadi utang negara

Dalam suatu diskusi dari beberapa waktu lalu, salah seorang korban selamat dan saksi hidup tragedi Biak berdarah, Filep Karma. menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi.

Menurutnya, pada 2 Juli 1998 sekitar pukul 02.00 Waktu Papua (WP), Bintang Kejora dikibarkan di menara air Kota Biak.

“Pada pukul 06.00 [Waktu Papua] saya mulai berorasi. Setelah itu orang mulai bergabung. Beberapa jam kemudian semakin banyak warga bergabung,” kata Filep Karma saat diskusi ketika itu.

Kata tokoh pejuang Papua merdeka itu, ketika ia mulai orasinya, aparat kepolisian sudah berada di lokasi, akan tetapi tidak ada tindakan yang diambil.

Katanya, mestinya jika aksi itu dilarang, aparat keamanan sudah menangkap dirinya sebelum massa datang.

Sekitar pukul 10.00 WP, Bupati Biak saat itu, Amandus Mansnembra, datang ke lokasi aksi. Mansnembra minta Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut aksi, membubarkan diri dan kembali melaksanakan tugas.

Filep Karma tidak menyangka aksi itu akan berakhir tragis. Saat itu, ia berpikir reformasi memberi ruang kepada orang Papua berbicara secara damai terkait hak yang mereka perjuangkan. Kebebasan yang tidak didapat pada zaman Orde Baru.

Informasi akan pembubaran paksa massa aksi, menurut Karma, didengar pihaknya pada 3 Juni 1998. Pesawat Hercules milik TNI yang mengangkut pasukan dari Makassar dan Ambon mendarat di Biak.

Seorang nelayan menginformasikan kepada pihaknya, melihat dua kapal yang diduga kapal perang berlabuh di Kepulauan Padaido. Karma pun kemudian menyampaikan kepada massa akan ada pembubaran pada 6 Juli 1998.

Warga yang bukan bagian massa aksi atau berada di lokasi untuk menonton diminta membubarkan diri, agar tidak menjadi korban salah sasaran.

“[Saya bilang] silakan kembali ke rumah masing-masing, dan doakan kami. Yang siap mati silakan tinggal. Saat itu masih ada sekitar 75-80 orang bertahan,” ucapnya.

Filep Karma dan puluhan orang yang bertahan di lokasi telah siap menghadapi berbagai kemungkinan. Mereka memutuskan akan mengambil posisi berbaring di sekitar menara air.

Posisi itu dipilih, agar saat mereka ditembaki ketika aparat keamanan memaksa menurunkan bendera Bintang Kejora yang berkibar di atas menara, mesti melewati (berjalan di atas) mayat massa aksi.

Pada hari naas itu, pasukan huru-hara datang dan menyerang massa aksi. Massa diminta jongkok. Seorang pendeta yang berusia 60 tahun yang tidak bisa jongkok dan memilih berdiri, dipukul aparat keamanan.

“Masyarakat [di sekitar lokasi] yang menonton [aksi] marah melihat [tindakan] polisi. Jadi bukan kami massa aksi [yang menyerang aparat keamanan],” katanya.

Situasi semakin tak terkendali. Penangkapan, penembakan, dan penganiayaan pun terjadi. Korban tidak hanya kaum pria, juga perempuan dan anak-anak.

Karma menyebut peristiwa Biak berdarah mirip peristiwa Santa Cruz di Timor Leste, tahun 1991 lalu.

“Mayat korban sebagian besar hilang dan belum diketahui oleh keluarganya. Sehingga sampai sekarang keluarga masih trauma atas peristiwa Biak berdarah,” kata Karma.

Elsham Papua dalam investigasinya beberapa tahun lalu mencacat tragedi kemanusiaan itu menyebabkan delapan orang meninggal, tiga orang hilang, empat orang luka berat, 33 orang luka ringan, 150 orang ditangkap dan disiksa, 32 mayat ditemukan mengapung di perairan Biak. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply