| Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi– Anike Mohi, istri Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Agus Kossay mengatakan kebiasaan polisi di Papua adalah menangkap terduga pelaku tanpa pemberitahuan kepada keluarga pihak yang ditangkap, dan tidak menunjukkan surat perintah penangkapan.
Anike Mohi mengatakan ini dalam diskusi online “Bertengkar Pasal Makar, Fakta dan Keadilan 7 Tapol Papua” yang digelar BTV (Balikpapan TV), Selasa (16/6/2020).
Anike Mohi mengatakan, saat Agus Kossay ditangkap di Hawai, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura Pada Selasa petang (17/9/2019), ia tidak mendapat pemberitahuan dari polisi perihal penangkapan suaminya.
Agus Kossay merupakan satu di antara tujuh tahanan politik atau Tapol Papua yang kini diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.
Agus Kossay ditangkap bersama enam Tapol Papua lainnya pascademonstrasi mengecam ujaran rasisme di Kota Jayapura 19 Agustus 2020 dan 29 Agustus 2029. Ia dituntut 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Papua.
Enam Tapol lainnya, yakni Buchtar Tabuni dituntut 17 tahun penjara, Steven Itlay dituntut 15 tahun penjara, Alexander Gobay dan Fery Kombo dituntut masing-masing 10 tahun penjara, Irwanus Uropmabin dan Hengki Hilapok masing-masing lima tahun penjara.
“Saya tidak tahu kalau dia ditangkap. Tidak ada surat penangkapan atau pemberitahuan. Memang polisi [di] Papua begitu. Dua hari atau tiga hari [setelah penangkapan] baru kita keluarga tahu. Itu satu hal yang kami tidak suka,” kata Anike Mohi.
Menurutnya, suaminya ditangkap polisi dan dibawa ke Markas Komando Brimob Polda Papua di Kotaraja, Kota Jayapura diketahuinya dari advokat HAM Papua Gustaf Kawer yang kini menjadi satu di antara penasihat hukum tujuh Tapol Papua.
Mohi mengaku beberapa hari sebelum penangkapan suaminya, polisi mendatangi tempat tinggal Agus Kossay dan keluarganya di Asrama Uncen, Perumnas III Waena, Kota Jayapura.
“Kalau di tempat tinggal saya di Asrama Uncen setiap hari polisi masuk. Laptop, telepon genggam serta sejumlah barang lainnya itu dong (mereka) angkat saja (bawa),” ujarnya.
“Kami mau demonstrasi atau mengadu terkait barang-barang yang diambil polisi, itu percuma. Mereka (polisi) tak akan kembalikan. Barang barang tahun lalu saja yang diambil sampai sekarang belum dikembalikan,” sambungnya.
Ia juga menyatakan tidak berniat mengadukan masalah itu ke pemerintah atau pengambil kebijakan lain di Papua, karena pesimis aspirasinya akan didengar.
“Kami juga anggap saja pemerintah dan polisi itu kerja sama, jadi kami anggap tidak akan ada tanggapan dari pemerintah setempat,” kata.
Debora Awom, istri Tapol Papua lainnya, Buchtar Tabuni yang ditangkap pada 9 September 2019, dan dituntut 17 tahun penjara mengatakan hal yang sama. Debora Awom tak tahu kalau suaminya ditangkap, karena saat penangkapan ia berada di kebun.
Namun katanya, setelah demonstrasi pertama mengecam ujaran rasisme di Kota Jayapura pada 17 Agustus 2019, anggota polisi telah mendatangi kediamannya di daerah Perumnas III Waena.
“Mereka masuk ke rumah kami sejak jam 9.00 saat kami sudah ke kebun sampai jam 06.00, dan mereka (polisi) menangkap Buchtar Tabuni,” kata Debora Awom.
Debora Awom yang pada sore hari pulang dari kebun mengaku kaget melihat kondisi rumahnya berantakan. Kolam ikan di rumahnya juga dikeringkan dan menyebabkan ikan-ikan mati.
“Saya tidak hitung lagi berapa banyak ikan di kolam yang mati. Mereka juga merusak [sejumlah barang dan beberapa bagian] rumah. Suami saya ditangkap tanpa pemberitahuan kepada kami,” ucapnya.
Dalam diskusi yang sama, satu di antara penasihat hukum tujuh Tapol Papua, Fathul Huda mengatakan dalam KUHP diatur terkait syarat-syarat penangkapan terhadap seseorang terduga atau tersangka misalnya mesti ada surat perintah penangkapan.
“Informasi dari teman-teman di Papua, [penangkapan tanpa memperlihatkan surat tugas dan pemberitahuan kepada keluarga] sudah sering terjadi di Papua,” kata Fathul Huda. (*)
Editor: Edho Sinaga