Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ifar Gunung adalah tempat tahanan, aku tinggal dalam tahanan. Gunung Cycloop yang tinggi, aku kini dalam tahanan. Itulah syair dan lagu para tahanan politik di kaki bukit Ifar gunung di Sentani Kabupaten Jayapura-Papua di era 1968, menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Di tempat itu pula, Herman Wayoi, tokoh pejuang Papua, pernah dijebloskan selama sembilan bulan, setelah memimpin demo menuntut satu orang satu suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Padahal waktu para mahasiswa termasuk Songgonao, Runaweri, dan pemuda Papua lainnya berdemo ke Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) dan bertemu dengan wakil rakyat, Herman Wayoi sebagai Wakil Ketua DPRGR langsung menerima aspirasi satu orang satu suara jelang Pepera 1969.
Bukannya menampung aspirasi, justru bersama ribuan masyarakat Papua meneriakkan Papua Merdeka menuju gedung negara hendak bertemu utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ferdinand Ortizans.
“Saat kau jadi Wakil Ketua DPRD-GR Provinsi Irian Barat 1969, kau bukannya tenangkan demonstrasi besar bangsa West Papua di gedung dewan, tapi ikut orasi bikin semangat ribuan orang. Akibatnya, kau kena sisir aparat, diciduk malam hari dari rumah Dok V, dijebloskan ke tahanan di Ifar Gunung,” kenang anak sulungnya, Christ John Wayoi, dalam akun pribadi facebook.com.
Hal senada juga dituturkan anak kandungnya, Leon Victor Wayoi (alm). Rumah mereka dikepung pasukan dan Herman Wayoi mengangkat kedua tangannya menuju kendaraan ke rumah tahanan politik. Belakangan keluarga baru tahu kalau sempat ditahan di rumah tahanan Ifar Gunung.
Salah seorang mantan tahanan Ifar Gunung, Ruben Marey, mantan Kepala Distrik Mindiptana-Merake, ikut pula diamankan. Belakangan keluarga baru tahu bebas dari tahanan di Angkatan Laut Sorido di Biak.
Selama sembilan bulan di tahaan Ifar gunung, Herman Wayoi tak pernah diadili atas tuduhan pelanggaran berdemo di depan Gedung Negara Dok V guna bertemu Ferdinand Ortizans.
Selain itu, laporan penelitian dari Prof Dr Drooglever terjemahan Indonesia berjudul Tindakan Pilihan Bebas ! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri menyebutkan bahwa tercatat ada beberapa tahanan politik berjumlah 346, termasuk mantan Gubernur Irian Barat pertama mendiang, Eliezer Jan Bonay.
Akan tetapi permohonan Ortiz Zans untuk memperoleh sebuah data lengkap dan termasuk semua nama lengkap tahanan tak mendapat tanggapan dari pemerintah Indonesia saat itu.
Meski demo, Herman Wayoi dan kawan-kawan menuntut satu orang satu suara, pemerintah Indonesia tetap melaksanakan Pepera 1969 dengan sistem perwakilan dengan 1.025 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewaikili masyarakat di Provinsi Irian Barat (sekarang Papua).
Hampir sebagian besar memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pepera sendiri dimulai di Merauke pada 14 Juli 1969 di Kabupaten Merauke dan berakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Menurut buku berjudul, Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) di Irian Barat 1969 terbitan Pemerintah Propinsi Irian Barat, ada 1.025 pemimpin, mewakili 815.904 orang di Provinsi Irian Barat.
Sidang DMP di Kabupaten Jayapura dipimpin langsung oleh Bupati Jayapura, Anwar Ilmar. Pukulan palu Ketua Sidang DMP di Jayapura berlangsung dua hari dua malam dan sebanyak 110 anggota DMP memilih bergabung dengan Indonesia dalam sidang di Gedung Negara.
Sidang DMP pertama digelar di Kota Rusa Merauke pada 14 Juli 1969 dan selanjutnya ke Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Biak, dan Jayapura.
“Secara aklamasi wakil-wakil tersebut dalam sidang-sidangnya dengan tegas, jelas, dan final telah menjatuhkan pilihannya, Irian Barat (sekarang Papua) tetap berada dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indinesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.”
Wawancara Menteri Luar Negeri saat itu, Adam Malik, saat pelaksanaan Pepera 1969 dengan wartawan Sinar Harapan soal Act of Free Choice atau Pepera 1969.
“Act of Free”, demikian Menteri Adam Malik, akan dilaksanakan di Irian Barat sesuai dengan Persetujuan New York 1962. Dalam tingkat pertama harus ditetapkan,”suatu pemilihan yang praktis yang dapat mewakili pikiran rakyat menentukan kehendaknya” Sistem itu di dalam dunia maju yaitu “one man one vote’.
Lebih lanjut, kata Adam Malik, posisi Irian Barat sedemikian rupa sejak jaman Belanda sampai merdeka dalam NKRI, perhubungan begitu sulit, seluruh Irian Barat begitu luas sehingga belum pernah seluruhnya dapat dicapai sampai di daerah-daerah pedalaman, karena itu tidak mungkin “one man one vote.”
Untuk itu Pepera 1969 dapat dilakukan di Irian Barat dan kedudukan kepala suku itu sudah pasti merupakan perwakilan rakyat. “Stamhouder”. Tribe Chief, ini tidak dibantah dan ini dapat dijalankan. Inipun belum merupakan keputusan baru dalam penyelelidikan yang seksama.
“Begitupula kita dapat mencari sistem yang pernah dijalankan pemilihan-pemilihan umum di negara-negara lain, Afrika, Pasifik United Nations di Sabah yaitu menetapkan kiezer-kiezer (pemilih), siapa-siapa yang telah jadi kiezer, yaitu orang-orang yang ditetapkan sesuai dengan undang-undang yang ditetapkan khusus untuk kiezer tadi,”.
Demokrasi dan partai politik di Papua Barat
Benarkah Irian Barat sulit dan sejak jaman Belanda belum mampu melakukan pemilihan langsung untuk memilih wakil rakyat?
Herman Wayoi adalah tokoh pendiri Partai Politik Nasional Papua 1961 sehingga memahami bahwa pemilihan di Papua bisa dilakukan buktinya pada pemilihan anggota Nieuw Guinea Raad (wakil rakyat Papua).
Menurut pengantar media terbitan Hollandia Nederlands Niueuw Guinea edisi 13 Agustus 1960 pada 31 Juli 1960, sudah didirikan partai politik dengan nama PARNA atau Partai Nasional. Herman Wayoi, Ketua Partai Nasional, saat rapat terbuka di Lapangan Hamadi di Hollandia (Kota Jayapura sekarang) pada 10 Agustus 1960 memperkenalkan diri dan mempromosikan program partai politik tersebut.
“Dari itu Partai Nasional berpendapat bahwa djangan (jangan) kita orang asli, gantungkan diri hanja pada pertolongan orang lain. Kita sendiri harus berdjuang (berjuang) dan bekerdja (berkerja) untuk keselamatan kita sendiri untuk kemakmuran negara kita, kepada waktu jang (yang) mana kita bisa berperintah sendiri. Dan untuk bekerdja sendiri itu, kita tidak usah tunggu sampai kita dididiklah jang amat tinggi sebagai universitas. Keadaan di sini, lain dari pada di Eeropah, maka sekarang djuga (juga) kita harus mulai dengan semangat sebesar-besarnja,”kata Herman Wayoi dalam pidato di lapangan Hamadi.
Meski banyak yang berbeda pendapat soal wakil rakyat zaman Belanda yang dikenal dengan nama Nieuw Guinea Raad (NGR). Waktu itu ada sebanyak 24 anggota Nieuw Guinea Raad terdapat 16 dipilih dan 12 ditunjuk oleh Gubernur Nederlands Nieuw Guinea. Untuk merebut kursi-kursi di Parlemen terdapat delapan partai politik di Nieuw Guinea Nederland.
Berikut partai partai politik di Nederlands Niueuw Guinea adalah Pertama, Demokratisch Volk Partij (DVP). Kedua, Partai Nasional (Parna). Ketiga, Partai KesatuanNieuw Guinea (Epang). Keempat, Partai Persatuan Orang Nieuw Guinea(PONG). Kelima, Partai Serikat Pemuda-Pemudi Papua. Keenam, Partai Kena U Embay (KUE). Ketujuh, Partai Sama-sama Manusia (SSM). Kedelapan, Partai Persatuan Christen Islam Raja Ampat (Periscra). (Baca PJ Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri).
Pemilihan anggota Nieuw Guinea Raad waktu itu dilakukan dengan sistem distrik (districtenstelsel). Di tiap distrik pemilihan dipilih satu orang mengikuti cara pemilihan Inggris. Kecuali di Schouten Eilanden dan Yapen Waropen yang rakyatnya lebih banyak dipilih satu orang.
Distrik-distrik pemilihan di Kota Hollandia (Jayapura) dan Manowkari dilakukan pemilihan langsung. Sementara di distrik-distrik lain, pemilihan tak langsung (dipilih wakil-wakil pemilih). Caranya setiap distrik pemilihan dibagi menjadi lingkungan-lingkungan pemilihan. Dari sini akan dipilih satu orang wakil pemilih dari kurang lebih 50 orang dalam daftar pemilih.
Saat pemilihan berlangsung, orang yang tak bisa baca tulis, membisikan nama calon favoritnya kepada komisi pemilihan (whispering ballot) cara yang biasa digunakan diberbagai daerah di Afrika. Dari 14 distrik pemilihan, terjaring 16 anggota NGR yang akan dipilih. Mereka dipilih dari calon yang diajukan. Para calon tidak boleh mewakili partai politik. Soalnya, selain Demokratische Volks Partij (DVP), partai-partai politik yang baru muncul di Nieuw Guinea kebanyakan bersifat kedaerahan. (*)
Editor: Dewi Wulandari