Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Theo Kelen
Tertidur di saat jam pelajaran, izin mengambil catatan, izin sakit, dan ada pula yang berjam-jam ke kamar mandi hanya untuk buang hajat maupun ke kantin demi sebotol minuman, dan bermacam-macam alasan dibuat murid-murid, untuk bebas dari kegiatan belajar dan ruang kelas. Inilah pemandangan yang sering kali dijumpai oleh para guru ketika mengajar di sekolah.
J. Sumardianta dalam bukunya Guru Gokil Murid Unyu (2013) menawarkan varian kegiatan belajar mengajar, berdasarkan pengalaman pribadi selama 20 tahun mengajar dan mendidik, sebagaimana yang telah dilakukan di SMA Kolese John De Britto Yogyakarta tempat ia mengajar dan mendidik.
Sekolah ini memiliki beragam pembelajaran. Seorang murid bukan hanya dicecar teori melulu, melainkan juga dihadapkan langsung kepada kehidupan riil berfungsi menumbuhkan kepekaan sosial.
Semacam magang kerja sosial, para murid didorong dan disebarkan ke berbagai tempat. Selama seminggu para murid wajib kerja sosial di tempat pembuangan sampah (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, dan rumah pengidap AIDS. Mereka belajar langsung dari orang-orang tersisih, miskin, bodoh, dan dianggap sampah masyarakat.
Setelah kegiatan selesai, para murid masih harus membuat story telling mengenai pengalaman mereka selama berkegiatan, supaya pengalaman berharga itu tidak lewat begitu saja.
Seperti yang dituturkan oleh seorang murid SMA Barito bernama Wenzel Richo, yang tersentuh akan keterbukaan hati saat tinggal bersama pemulung di kolong jembatan Kampung Melayu, Jakarta. Pukul 2.00 dini hari, sepulang memulung di Pancoran, ia ditraktir mie rebus oleh induk semangnya. Ia berinisiatif membayar karena kasihan, justru dihardik oleh induk semangnya yang pemurah hari itu.
Hal serupa pula dipraktikkan oleh para mahasiswa Akuntansi Universitas Cenderawasih (Uncen), Kota Jayapura, Papua. Selama dua minggu penuh dosen-dosen mewajibkan para mahasiswa terjun ke lapangan. Mereka berjualan bersama para pedagang ikan asar di Pasar Youtefa, Kota Jayapura-Papua, mama-mama penjual sarang semut di depan emperan supermarket Saga Abepura, Kota Jayapura-Papua, dan kerajinan-kerajinan tangan seniman lokal, seperti rajutan noken dan ukiran.
Lebih dari itu para mahasiswa juga didorong untuk memberikan pemahaman kepada para pelaku usaha kecil ini, akan pentingnya menabung, dan memaksimalkan sarana digital sebagai ajang promosi produk-produk lokal mereka.
Model-model pembelajaran seperti ini seharusnya bisa diadopsi ke dalam sistem kurikulum pendidikan negeri ini. Proses pembelajaran konvensional berhadap-hadapan muka di ruang kelas semestinya dikurangi.
Murid-murid sekarang ini mesti lebih banyak diberdayakan sekaligus memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat.
Interaksi para murid dengan lingkungan di luar sekolah adalah strategi menumbuhkan kepekaan sosial dan ajang mengasah compassion murid. Di samping itu para murid di penghujung tahun kelulusan perlu dipertemukan dengan para pembicara sukses guna memberikan rangsangan dan motivasi kepada para murid, agar kelak mereka tidak kebingungan menentukan pilihan hidup di luar sana.
Di zaman digital sekarang ini murid-murid mengalami banyak tantangan dalam proses pembelajaran; jam belajar semakin banyak, beban tugas menumpuk. Pergaulan sosial makin bebas disertai kecanduan gadget yang meracuni.
Di sisi lain para orangtua menaruh harapan besar akan masa depan anak mereka di pundak para guru. Guru harus jeli mengenali setiap kepribadian muridnya. Dengan begitu guru barulah bisa menerapkan metode pembelajaran yang efektif.
Guru bukanlah penceramah yang berceramah berjam-jam di depan kelas. Harus ada metode yang lebih kreatif, seperti yang dilakukan oleh J. Sumardianta di Sekolah SMA Kolese John De Britto Yogyakarta. Atau yang dilakukan dosen-dosen dari jurusan Akuntansi Uncen tadi.
Guru bukanlah survivor yang sekedar bekerja, mempertebal dompet dan menumpang hidup.
Selain kreatif guru harus bermental baja, bermental perkasa layaknya guru-guru Timor Leste dalam mengobarkan cinta kasih dan optimisme bagi para muridnya, di tengah sisa-sisa puing bangunan dan bercak kesengsaraan akibat konflik kemerdekaan, sekaligus dilanda perang saudara tahun 2006 antara masyarakat Loro Sa’e (sektor timur) dan masyarakat Loro Moro (sektor barat).
Keperkasaan dan cinta kasih yang tulus terhadap para murid dapat pula ditemukan dalam diri sosok pemuda asal Paniai bernama Agus Kadepa. Semenjak tahun 2013, bersama Gerakan Papua Mengajar (GPM) dia mengumpulkan anak-anak Papua dari usia dini, TK hingga SD, untuk diajak belajar, bermain dan bernyanyi. Kini Agus Kadepa bersama Gerakan Papua Mengajar secara konsisten mendampingi anak-anak Papua, dengan membuka beberapa kelas di Paniai, dan Kelompok Belajar Deiyai di Tigi Barat.
Adapula sosok perkasa pemuda-pemuda komunitas LiFE (Literacy For Everyone) Papua yang dirintis oleh Kurniawan Patma bersama rekan-rekannya. Komunitas ini adalah penggerak literasi yang konsen di pedalaman kampung yang setahun terakhir hidup, tidur, dan makan bersama masyarakat di pedalaman Sawyatami, Ubiyau, Sawanama di Kabupaten Keerom. Kendati demikian zaman telah berubah. Model-model pembelajaran semakin bervariasi memungkinkan agar diterapkan di setiap sekolah. Situasi New Normal sekarang ini yang “tak biasa dari biasa” oleh karena pandemi virus corona, yang tak kunjung berakhir, memaksa segalah aktivitas dikerjakan berjarak-jarak, termasuk proses pembelajaran dilakukan secara daring. Pemerintah pun melalui Kemendikbud berencana mematenkan proses KBM secara daring ke dalam sistem kurikulum pendidikan.
Kini hubungan guru dan murid akan sering terajut lewat jaringan smartphone, gadget, maupun melalui laptop, benar-benar membuat para guru harus menjadi BRENGSEK (Bertanggung Jawab, Ramah, Energik, Nyaman, Gokil, Strong, Elegan, Kreatif), sehingga dengan begitu lahirlah para murid yang SMART (Simpel, Militan, Aktif, Responsif, Terampil). (*)
Penulis adalah guru sejarah. Mantan guru SMAN 4 Jayapura dan SMA YPPK Taruna Bakti Jayapura
Editor: Timoteus Marten