Dusun Sagu Manawiri, penyelamat dan masa depan masyarakat adat Yeresiam Goa

Sagu, Bahan Pangan Lokal Papua
Ilustrasi seorang mama Papua memangkur daging batang pohon sagu untuk dihancurkan dan diperas menjadi endapatan tepung sagu, bahan pangan lokal masyarakat adat Yeresiam Goa. - Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi – Tanah adalah Mama, dan “supermarket” alami orang Papua adalah hutan. Jika hutan dirusak dan tanah dijual, orang Papua tidak lagi punya harapan serta kehidupan.

Pada 25 April 2021, saya mengunjungi “supermarket” kehidupan atau dusun sagu masyarakat adat Yeresiam Goa, yang biasa disebut Dusun Sagu Manari. Dusun Sagu Manari itu terletak di Kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire, Papua.

Read More

Sebelum memasuki Dusun Sagu Manari, saya berdiskusi dengan Kepala Urusan Pemerintahan Kampung Sima, yaitu Yulianus Awujani. Menurutnya, mayoritas anak adat Suku Yeresiam berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Setelah PT Nabire Baru dan PT Sariwana Adhi Perkasa membuka perkebunan kelapa sawit di kawasan itu, barulah ada anak adat Yeresiam yang berkerja menjadi karyawan perkebunan kelapa sawit. Awujani sendiri juga pernah bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Akan tetapi, urusan “alih profesi” tidaklah mudah bagi kebanyakan masyarakat adat Papua yang biasa berburu dan meramu di hutan yang kaya akan sumber pangan. Bagaimana tidak, pendapatan dari berubur dan meramu di hutan yang kaya sumber pangan kerap kali lebih memakmurkan ketimbang bekerja menjadi buruh perkebunan kelapa sawait. “Sebagian masyarakat, termasuk saya, keluar karena pembayaran tidak sesuai dengan apa yang torang kerja,” kata Awujani.

Baca juga: Perempuan Yerisiam Gua: Dusun Sagu Ini Hidup Kami

Di tengah kepungan kebun kelapa sawit di Distrik Yaur, Dusun Sagu Maniwari menjadi penyelamat masyarakat adat Yeresiam.  Dusun Sagu Maniwari adalah warisan moyang suku Yeresiam Goa dan empat sub suku lainnya, yang selalu mereja jaga agar tak dijamah perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Awujani bercerita, Dusun Sagu Maniwari itu nyaris dibongkar perusahaan perkebunan kelapa sawit pada 2017 lalu. “Kami demonstrasi ke perusaaan sawit PT Nabire Baru dan PT Sariwana Adhi Perkasa, karena mereka mau menggusur dusun sagu untuk ditanami sawit. Anak-anak [adat] di sub suku Yeresiam menolak. Waktu itu aparat kemanan hampir dipukul oleh aparat keamanan. Akhirnya, Dusun Sagu Maniwari tidak jadi dibongkar,” katanya.

Awujani mengatakan Dusun Sagu Maniwari itu bukanlah dusun sagu yang ditanami nenek moyangnya. Menurutnya, dusun sagu itu adalah hutan sagu alami, pemberian dari Tuhan, sejak Tuhan menciptakan Tanah Papua, dan hingga kini dinikmati masyarakat adat Yeresiam.

“Kami menjaganya, agar dusun sagu tidak boleh dirusak orang, siapapun dia. Sagu adalah makanan pokok kami, yang diberikan langsung oleh Tuhan,” katanya.

Ia meyakini, juga dusun sagu itu rusak karena sagunya ditebang secara berlebihan, atau digusur untuk ditanami tanaman selain sagu, masyarakat adat Yeresiam Goa akan sangat dirugikan. “Kalau mereka menggusur dusun sagu, kami mau makan apa lagi? Dusun sagu harus dilindungi, siapapun itu dia,” katanya.

Awujani mengatakan ia biasa menokok sagu dengan menggunakan mesin untuk menggiling daging batang pohon sagu. Akan tetapi, mesin penokok sagunya sedang rusak. “Saya mau perbaiki, tapi tidak ada uang. Nanti kalau ada uang, baru saya antar [mesin itu] ke tukang bengkel, untuk mereka perbaiki saya punya mesin itu,” katanya.

Mesin penokok sagu yang dibelinya pada 2012 itu memang memudahkan Awujani. Jika menggunakan mesin penokok, dalam sehari menokok ia bisa menghasilkan empat sampai lima karung sagu. “Jika menokok secara manual, dalam sehari saya hanya bisa menghasilkan dua sampai tiga karung [sagu],” ujarnya.

Mengolah piku di Manawiri

Di Dusun Sagu Manawiri, tampak Andreas Wayoi dan dua orang mama sedang menokok sagu. Seorang mama terampil memainkan alat penokok sagu, dan mama yang lain menimba air serta menyaring tepung sagu yang masih larut dalam air tokokan daging batang pohon sagu.

Andreas Wayoi bercerita, Dusun Sagu Maniwari adalah hutan sagu yang menjadi habitat dan tempat tumbuhnya dua jenis pohon sagu. Ada jenis pohon sagu yang bisa ditokok dan diolah menjadi tepung sagu, dan ada jenis sagu yang tidak bisa dikonsumsi.

“Sagu yang dapat digunakan dan dikonsumsi itu namanya piku, dalam bahasa Yaur disebut yitere. Kalau sagu yang tidak dapat kami gunakan, dalam bahasa Yeresiam disebut yaneca, dan juga disebut sebagai takate,” kata Wayoi.

Setiap anak adat Suku Yeresiam Goa mudah membedakan mana sagu jenis piku, dan mana sagu jenis yaneca. “Kalau pohon sagu yang bisa dikonsumsi, di batangnya ada semacam [lapisan] debu. Kalau pohon sagu yang tidak bisa dikonsumsi, di batangnya tidak ada debu itu,” ujar Wayoi.

Wayoi mengatakan, sagu jenis piku dan yaneca tumbuh bersama-sama di rawa-rawa Dusun Sagu Maniwari. “Kalau kami mau memanen sagu, kami melihat dari ciri-ciri pohonnya. Apabila pohon sudah besar, sudah bertumbuh puluhan tahun lamanya, kami tebang. Kami akan menebang dan menokok sagu yang sudah tua,” katanya.

Wayoi mengatakan kebanyakan masyarakat adat di Nabire menokok sagu secara manual. Mereka memakai alat penokok yang dibuat dari kayu mangi-mangi, dengan ujung penokok berbahan logam keras seperti besi. Alat itu digunakan untuk menokok potongan batang pohon sagu yang telah dikupas, dengan potongan batang sepanjang 50 – 100 centimeter.

“Kalau kami mengambil isi satu potongan batang sagu, itu kalau ditokok secara manual, bisa dua potongan batang sagu, bisa juga satu potongan batang sagu. Kalau menokok secara manual, berarti hari ini ambil dua potongan batang pohon sagu, besok dua potongan batang lainnya, hingga selesai. Tetapi, kalau dengan mesin, dalam sehari kami bisa menokok habis sebatang pohon sagu, mengolahnya,” kata Wayoi.

Baca juga: Komnas HAM Papua temukan 28 titik kerusakan hutan sagu dan bakau di Teluk Youtefa

Salah seorang mama yang ditemui saat menyaring larutan daging batang pohon sagu, Vlora Maniburi menjelaskan proses pembuatan tepung sagu diawali dengan menghancurkan daging batang pohon sagu. “[Daging] batang sagu yang akan diolah menjadi tepung dihancurkan dulu dengan cara pangkur menggunakan alat tradisional. Hasil pangkur ini berupa serbuk-serbuk kayu halus. Serbuk kayu tersebut diletakkan di pelepah sagu, kemudian diberi air sambil diperas menggunakan tangan,”katanya.

Maniburi mengatakan di ujung pelepah sagu yang digunakan untuk memeras hasil pangkur sagu itu diberi kain untuk menyaring air perasan sagu, berupa tepung sagu terlarut yang ditampung di dalam wadah. Ampas perasan akan dikembalikan ke pangkal pelepah, diperas dengan air lagi, hingga beberapa kali.

“Endapan tepung sagu tersebut dikumpulkan, kemudian dimasukkan ke dalam karung, yang lebih dikenal dengan nama tumang. Sagu yang telah ada di dalam tumang siap dikonsumsi atau dipasarkan. Kami biasa jualan di Pasar Kalibobo,” kata Mama Maniburi.

Sagu adalah jati diri orang Papua

Sekretaris Besar Suku Yeresiam Goa, Robertino Hanebora mengatakan sagu merupakan salah satu  makanan pokok orang Papua, sehingga harus dilindungi. “Berbicara tentang sagu, [itu] berbicara tentang mama, karena sagu memberikan makanan kepada kami. Nilai sagu itu sangat sakral,”kata Hanebora.

Hanebora mengatakan Suku Yeresiam Gua mempunyai beberapa dusun sagu yang dijaga dengan baik oleh pemilik hak ulayatnya. “Bagi saudara-saudara yang punya hutan sagu, mari kita jaga dengan baik, karena sagu melambangkan jati diri kita,” ujar Hanebora.

Kepala Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Nabire, Riselen F Ririhena mengatakan ada sejumlah komoditas pertanian lokal di Nabire, yaitu sagu, kelapa, dan kakao. “Komoditas unggulan lokal masyarakat Nabire [adalah] sagu dan kelapa, kedua komoditas itu dekat dengan masyarakat,” katanya.

Ririhena mengatakan hutan sagu di Nabire tersebar di Sima, Napan, Mosar, Makimi dan Wanggar. Ia mengatakan akses ke hutan sagu tergolong susah, dan selama ini masyarakat adat menggunakan alat tradisional untuk masuk ke hutan sagu. “Hutan sagu tidak dapat diakses dengan kendaraan roda empat,” katanya.

Ririhena mengatakan Pemerintah Kabupaten Nabire berencana membangun rumah produksi tepung sagu untuk digunakan para pembuat tepung sagu. Menurutnya, rumah produksi sagu itu akan menggunakan mesin pengolahan yang akan bisa mengemas tepung sagu dalam kemasan plastik.

Mesin pengolah itu disebut Ririhena mampu menghasilkan tepung sagu dengan kualitas yang lebih bagus dibandingkan dengan tepung sagu hasil olahan tradisional. “Rencana pabrik tepung sagu akan dibangun di Makimi, [itu terdiri dari] rumah produksi sagu dan tempat penyimpanannya,” kata Ririhena. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply