Oleh : Yorrys Raweyai
Perbincangan tentang Papua mengemuka seiring dengan perhatian publik tentang masa depan Papua jelang berakhirnya kebijakan Otonomi Khusus. Banyak kebijakan yang diterapkan, tapi tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Konstalasi kehidupan masyarakat Papua masih berada dalam suasana yang tidak sepenuhnya kondusif. Paling tidak jika merujuk pada tujuan pemberlakuan Otonomi Khusus itu sendiri.
Masa Lalu
Debat publik di berbagai kesempatan mengurai persoalan yang cukup kompleks. Papua bukan hanya tentang masa kini, tapi juga tentang masa lalu yang dianggap tidak selesai. Uraian sejarah tentang perebutan Papua antara Belanda dengan Indonesia di masa kolonial berhembus hingga polemik di tahun 1960-an, saat proses integrasi dimulai dan menuai legitimasi melalui resolusi PBB 2504 yang menerima hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.
Sejarah mengungkap fakta dan peristiwa. Atas nama sejarah pula, Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pun atas nama sejarah pula, penolakan atas status tersebut tidak usai bermunculan dan menggema hingga saat ini. Banyak pihak bermaksud hendak meluruskan sejarah. Tapi sebagian juga memandang sejarah tidak perlu diluruskan, karena sejarah adalah fakta yang diterima, dijadikan inspirasi untuk menatap masa depan.
Berbicara tentang masa lalu dalam konteks masa kini, mungkin sebuah persoalan tersendiri. Situasi kolonial dan perebutan kekuasaan adalah aura yang sulit untuk dimungkiri kala itu. Sebagai wilayah perebutan, Belanda dan Indonesia berada dalam posisi yang sama sebagai pihak yang berkepentingan dengan Papua. Tapi, entah kepada siapa kepentingan Papua itu sendiri dialamatkan, sejarah tentu adalah milik sang “pemenang”.
Sejak resolusi PBB diterbitkan, Indonesia mendefinisikan Papua dalam kerangka dan paradigma sebagai wilayah kekuasaannya. Boleh jadi definisi itu dituding subjektif, namun kepentingan kekuasaan mana yang melahirkan pengertian lain selain apa yang sejatinya menguntungkan bagi Indonesia, dan, tentu saja, bagi Papua itu sendiri.
Pergolakan memang belum usai. Silang pendapat bahkan semakin mengemuka seiring dengan kebebasan bersuara dan berpendapat yang menemukan tempat dan resonansinya di alam demokrasi pasca reformasi. Masa lalu kembali diungkit sebagai perkara yang belum selesai. Masa lalu yang bagi sebagian orang menjadi jejak perjalanan yang lazim dipenuhi kerikil dan duri cenderung dijadikan sebagai argumen utama untuk menggenaralisir kegagalan Indonesia dalam mengelola Papua.
Papua yang masih terbelakang meski berada dalam tingkat perhatian yang cukup besar. Betapa tidak, kebijakan Otonomi Khusus yang digadang-gadang sebagai win-win solution telah menyisakan berbagai realitas baru. Ratusan triliun rupiah anggaran negara digelontorkan untuk membangun kehidupan Papua setara dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Tentu saja bukan karena soal anggaran, bukan juga soal “uang” yang berlimpah.
Tapi Papua hari ini adalah Papua yang masih dipenuhi polemik. Papua yang pada kenyataannya masih terbelakang. Papua yang pada kesehariannya masih diwarnai rasisme dengan berbagai bentuk polanya, entah disadari atau tidak.
Sejarah sebagai milik pemenang nampaknya tidak selalu diisi dengan keriangan, kegembiraan, dan kedamaian. Saat duka terhampar, luka menganga, maka sejarah pemenang pun akan menuai gugatan. Historiografi memang demikian adanya. Jika menukil tiga gelombang sejarah menurut Kuntowijoyo, maka pasca reformasi, gairah untuk meluruskan sejarah adalah sebuah fenomena yang tidak terelakkan. Setelah sebelumnya pradigma “dekolonisasi” mewarnai penulisan sejarah, lalu diikuti penulisan yang cenderung netral terhadap kekuasaan dan juga rekayasa demi kepentingan Orde Baru.
Pelurusan sejarah sebagai memang memberi dampak yang tidak kecil bagi generasi yang bahkan tidak pernah bersentuhan langsung dengan peristiwa di masa-masa pergolakan. Idealisme tentang demokrasi dan reformasi menjadi amunisi untuk menguliti berbagai hal yang dipandang tidak sejalan dengan cita-cita Papua masa depan. Karena itu, bisa dimaklumi jika persoalan hak asasi manusia, marginaliasi dan penyerataan pembangunan menjadi isu-isu yang mudah menyulut emosi publik untuk sekedar mempertanyakan sejauhmana keseriusan Indonesia mengelola Papua.
Semua berada dalam satu romantisme, meski pada kenyataanya, kritisisme terhadap Indonesia tidak sepenuhnya dihadirkan dengan rumusan yang bulat dan komprehensif tentang seperti apa Papua di luar Indonesia. Romantisme juga tidak mampu menjelaskan secara detail bahwa selama di bawah kekuasaan Pemerintahan Belanda, apakah Papua berada dalam kondisi yang hangat atau panas. Atau sama sekali tidak terindentifikasi selain untuk menegaskan perbedaan semata.
Oleh karena itu, pertanyaannya kemudian apakah keinginan “merdeka” yang menjadi harga mati yang tidak tertawarkan itu, adalah rumusan yang digali sebagai solusi, atau semata sebagai wujud romantisme yang tidak terdefinisikan dengan tegas? Paling tidak, Papua harus menjelaskan dirinya sebagai “negara” yang pernah merdeka, lalu terjajah, dan kini sedang tertindas di bawah “koloni” Indonesia.
Masa Depan
Saat ini, sebagaimana negara-negara di dunia lainnya, Indonesia sedang memasuki suasana global yang kehilangan sekat kepentingan dan tradisi. Percaturan dunia yang begitu kompleks dengan segala permasalahan dan pekerjaan rumahnya menempatkan Indonesia sebagai negara yang dipenuhi ancaman, tantangan sekaligus peluang. Lalu, dimana letak Papua di era yang serba global dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini?
Pertanyaan ini penting untuk mengurai sejauhmana relevansi kehendak merdeka tersebut dalam suasana yang serba berubah (desruptif). Peristiwa yang dialami oleh George Floyd di Amerika Serikat nun jauh di sana saja bahkan telah menyisakan gemuruh di dalam negeri. Kulit hitam Floyd yang diidentifikasi dengan warna kulit Papua yang secara implisit mengalami rasisme yang sama, menggugah persasaan sama dan mengungkit perlakukan rasis sejumlah mahasiswa dan aktivis Papua di tanah Jawa yang justru sedang mendekam dalam penjara.
Tapi, reaksi publik cukup riuh dan simpatik. Papua kembali diperbincangkan. Para mahasiswa dan aktivis tersebut menuai perhatian dari berbagai kalangan aktivis, Anggota DPR dan DPD hingga lembaga swadaya masyarakat. Itu menunjukkan bahwa suasana romantisme masa lalu bukanlah perhatian penting, apalagi jika perhatian terhadap Papua harus diawali dengan pengakuan tentang kekeliruan sejarah masa lalu.
Kebebasan bersuara dan berpendepat adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Tidak hanya bagi masyarakat Asli Papua, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara pun sedang berada dalam suasana yang tidak lagi dengan mudahnya menggunakan instrumen-instrumen represif tanpa adanya gelombang desakan kritis dari berbai elemen masyarakat.
Sebagai negara yang berada dalam percaturan global, tentu saja Indonesia tidak berkepentingan dengan pemisahan wilayah. Perjuangan kemerdekaan yang cukup panjang dilalui tidak cukup mampu untuk menerima argumentasi pesimis tentang sebagai orang Papua yang saat ini menginginkan untuk “merdeka”. Sejarah perebutan Papua dari status negara boneka Belanda tentu tidak bisa dienyahkan begitu saja dalam memori kebangsaan dan keindonesiaan kita. Apalagi saat itu, sebagai Presiden dan Pemimpin Negara, Soekarno memiliki andil besar dalam upaya tersebut. Bagaimana mungkin andil itu diabaikan hanya untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu?
Mungkin juga pertanyaan tentang sejauhmana kesiapan Papua itu sendiri untuk “merdeka” dan menata kehidupannya sendiri di masa depan, patut diajukan. Tapi, pertanyaan itu terasa tidak relevan, mengingat tujuan dari kebangsaan dan keindonesiaan kita telah termaktub dalam preambule (pembukaan) UUD 1945, yakni melindungi segenap bansga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kiranya keinginan untuk “merdeka” patut dipahami sebagai kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak berpihak, tidak konsisten dan tidak sejalan harapan masyarakat Papua.
Jika demikian, maka bisa dikatakan bahwa keinginan itu sesungguhnya harapan laten bagi setiap individu dan masyarakat Indonesia. Pengejawantahan harapan ini adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menerjemahkan berbagai kebijakan agar sejalan dengan harapan. Jika tidak, maka sudah barang tentu terdapat kesenjangan kebijakan yang boleh jadi disebabkan oleh cara dan strategi pengelolaan yang keliru.
Masa depan Papua sebagaimana masa depan Indonesia berada dalam satu nafas masa kini. Generasi emas Papua yang sebentar lagi bertebaran di muka bumi adalah mereka yang menjalani pendidikan yang baik, persentuhan global dengan situasi kekinian, dan keahlian yang mumpuni di berbagai bidang yang dibutuhkan dalam suasana dan kondisi saat ini. Meleburkan mereka dalam suasana romantisme masa lalu bukanlah pilihan bijak. Sebab di saat yang sama, harapan tentang masa depan Papua, adalah harapan generasi yang akan datang yang di kepalanya berisi tentang bagaimana mengisi hari-hari depan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kemampua mengaplikasikan pengetahuan tersebut bagi diri dan lingkugannya.
Suasana Dialogis
Memandang persoalan Papua saat ini kiranya tidak lepas dari perbincangan tentang sejarah (masa lalu), kondisi masa kini dan harapan tentang masa depan. Masa lalu seringkali dijadikan instrumen untuk memperkuat keinginan untuk “merdeka”. Harga mati dari kemerdekaan itulah yang diharapkan mampu merubah suasana Papua saat ini dibalik ketidakpercayaan kepada Pemerintah Indonesia dalam mengelola Papua.
Kondisi masa kini yang dipenuhi dengan persoalan seakan meligitimasi keinginan tersebut agar segera terealisasi. Berbagai organisasi Papua Merdeka bermunculan dan memperoleh simpati dari negara-negara lain yang memiliki kesamaan rumpun dengan Papua. Meski terbentur dengan keputusan-keputusan sejarah juga, keinginan tersebut semakin lama semakin menguat di balik berbagai peristiwa yang dialami oleh masyarakat Papua beberapa tahun belakangan ini.
Pembicaraan tentang masa depan tentu saja masih buram. Namun seakan terakomodasi dengan cepat dari pilihan merdeka. Berpisah dengan Indonesia dipandang akan sekaligus mendefinsikan seperti apa Papua masa depan. Meski pilihan dan keinginan itu tidak semuanya di-“amini” oleh para tokoh Papua dan publik Papua secara umum, namun suara-suara ketertindasan dan kezaliman cukup mampu menggugah perasaan yang sama untuk berada dalam kegelisahan yang serupa.
Namun, keinginan untuk merdeka itu sejatinya bukan harga mati di tengah berbagai usaha dan upaya yang dilakukan masyarakat Papua dewasa ini. Generasi muda Papua yang cenderung berpikiran global dan memiliki cara pandang yang lebih komprehensif dalam memandang persoalan tentu saja tidak dengan mudah menerima hasrat “merdeka” sebagai solusi jangka pendek.
Dalam berbagai even diskusi yang menghadirkan para tokoh Papua, isu “Papua Merdeka” tampaknya lebih dimaknai sebagai sebentuk perlawanan atas situasi yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang lebih dialogis dan komprehensif. Sebab persoalan Papua bukan semata disebabkan oleh Pemerintah Pusat sendiri, tapi juga sejauh mana penerimaan komprehensif dari publik Papua sebagai subjek pembangunan dalam menata kesiapan diri dan lingkungan dalam merespons berbagai bentuk perubahan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Mengelola romantisme memang tidaklah mudah. Apalagi sekedar menempatkannya sebagai instrumen perlawanan, bukan pembangunan. Sejarah yang memiliki berbagai tilikan perspektif dan paradigma pun tidak cukup mampu dijadikan satu-satunya alasan untuk merealisasikan hasrat untuk merdeka. Sebaliknya, energi untuk “merdeka” seakan telah menguras harapan Papua itu sendiri untuk memandang jauh ke depan, tentang kehidupan bagi generasi yang akan datang.
Tujuan Tanah Damai Papua sesungguhnya harus dijalani dengan cara-cara yang damai dan elegan. Pemerintah sejatinya telah berupaya membuka diri untuk itu. Sederet rezim kekuasaan pasca Orde Baru telah berupaya membuka keran dialogis, meski memang diakui masih belum sepenuhnya substansial. Sebagian bahkan masih sebatas artifisial dan berjalan di area permukaan, tidak menyentuh akar persoalan.
Tapi, keinginan membuka diri itu setiap waktu adalah nilai moral yang baik. Paling tidak aspirasi tentang Papua bukan hal yang tabu untuk senantiasa disuarakan dan diperbicangkan. Publik pun menerima itu sebagai sebuah kewajaran, dan terkadang memberi dukungan sepenuhnya atas berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
Memang kita masih diperhadapkan pada suara-suara tentang Papua yang cenderung terfragmentasi di berbagai kanal aspirasi. Pemerintah Pusat masih menerima ragam aspirasi sebagai bentuk kebebasan bersuara dan berpendapat. Namun, saat ini, sebaiknya kanal-kanal aspirasi itu dipersempit dan diberi ruang tersendiri agar pemerintah lebih fokus dalam menjalankan kebijakan yang konsisten, terarah terukur dan terencana.
Mengelola Papua tentu bukanlah perkara mudah, sebagaimanahalnya mengelola berbagai perbedaan yang terdapat dalam rahim kebangsaan dan keindonesiaan kita. Tapi, selama suara dan aspirasi tersebut masih memperoleh pendengaran dan perhatian, ruang-ruang dialogis yang tetap terbuka dan tergelar, selama itu pula kita tetap memiliki optimisme tentang penyelesaian Papua. (*)
Penulis adalah Ketua MPR RI for Papua