Papua No. 1 News Portal | Jubi
Sebagian besar tanah ulayat Kampung Wembi, Distrik Manam, Kabupaten Keerom, Papua habis diambil untuk penggunaan lain, seperti perkebunan kelapa sawit dan pembangunan lainnya. Masyarakat adat hanya mendiami 30 persen dari wilayah adatnya, sedangkan 70 persen lainnya sudah habis.
Hal ini terungkap dalam “Laporan Survei, Pengkajian dan Pemetaan Potensi Pengelolaan lahan dan Hutan Adat di Kampung Wembi Tahun 2021” yang dilakukan Tim Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRA) Papua.
“Ada dua tipe lahan hutan yang terdapat hampir di semua sisi wilayah Kampung Wembi kecuali pada bagian utara dan timur laut (lokasi perkebunan sawit). Dapat dikatakan kampung Wembi masih dikelilingi oleh hutan (ingk),” demikian laporan tersebut.
Data Kementerian Lingkungan Hidup seperti dilaporkan Tim Survei KIPRA menyebutkan sepanjang tahun 1990-2020, sebagian besar atau 78 persen wilayah Kampung Wembi merupakan hutan dan 14 persen lainnya merupakan perkebunan dan tutupan hutan yang digunakan untuk permukiman, pertanian dan semak belukar, sedangkan sisanya adalah tanah terbuka.
Hingga tahun 2020, luas tutupan lahan kering di Kampung Wembi sekitar 13,231 ribu hektare, perkebunan sawit sekitar 2,757 ribu hektare, hutan rawa dan semak belukar rawa sekitar 1,751 ribu hektare, sekitar 1,185 ribu hektare lahan pertanian lahan kering dan semak belukar, sedangkan permukiman transmigrasi dan lahan terbuka sekitar 201,86 ribu hektar, dan 57,95 hektare lainnya sungai (air).
Masyarakat adat Kampung Wembi pada umumnya berburu dan berkebun secara tradisional. Dalam pemanfaatan sumber daya alamnya masyarakat melakukan kesepakatan bersama pemilik ulayat, sehingga hasilnya akan dilakukan bagi hasil.
Direktur KIPRA Papua, Irianto Jacobus, mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua untuk mengadvokasi wilayah adat Kampung Wembi yang masih tersisa. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami potensi sumber daya alamnya, sehingga potensi yang tersisa tidak habis.
“Pelatihan advokasi ini akan memperkuat masyarakat, dan memahami hak-hak dan kewajiban masyarakat adat sebagai warga negara. Karena kita tidak tahu ke depan mungkin ada pembangunan jadi kita siap mulai sekarang,” kata Irianto kepada Jubi di Kampung Wembi, Kamis (12/8/2021).
Tetua adat (Puskue Assa) Kampung Wembi, Fransiskus Musui, mengatakan gejolak politik pada zaman dahulu (Pepera 1969) membuat masyarakat lari ke hutan. Orang-orang tua pun membawa serta anak-anaknya, sehingga sumber daya alam mereka tidak diurus baik.
Dia menyebutkan Wembi merupakan kampung asli yang sudah ada sebelum Pemerintahan Belanda. Bersama Kampung Uskwar, Yetty, dan Kriku, Kampung Wembi masuk dalam suku Manem. Di Wembi sendiri terdiri atas 13 keret, yakni, Yawan, Bogor, Menafi, Pien, Pasewor, Pkarfremum, Musui, Mekawa, Mimpir, Boryam, Isomongkir, Numbun, dan Kuntui. Kini Kampung Wembi memiliki 85 kepala keluarga (KK) dengan total sekitar 336 penduduk, di antaranya 176 laki-laki dan 160 lainnya perempuan.
Pada masa lalu, masyarakat berpindah-pindah. Sekitar tahun 1960 hingga 1970 wilayah Keerom ditetapkan sebagai daerah operasi militer (DOM). Masyarakat Wembi pun mengungsi ke Papua Nugini (PNG). Mereka lalu kembali sekitar tahun 1970. Sekitar tahun 1979 Dusun Wembi menjadi bagian administratif dari Kampung Workwana.
Tahun 1987 Wembi menjadi kampung definitif dengan beberapa kampung lainnya, seperti, Yeti, Kibay, PIR 4, Skofro, Kriku, Uskwar, dan Piawi. Hingga tahun 1990 sampai 2006 kampung Wembi menjadi kampung administratif dalam Distrik Manam.
Sekitar tahun 1991, hadir perusahaan sawit PTPN 2 di Kampung Wembi. Meski perusahaan ini hadir tahun 1982, ekspansi lahan sawit baru terjadi pada tahun 1991.
“Ketika perusahaan sawit masuk ke wilayah Keerom, masyarakat tetap tertinggal dan pendidikan diabaikan,” kata Musui. (*)
Editor: Dewi Wulandari