Papua No. 1 News Portal | Jubi
London Jubi – Badan PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan pantun sebagai warisan budaya tak benda. Nominasi Pantun diajukan secara bersama Indonesia dan Malaysia, dan bagi Indonesia ini menjadi tradisi budaya ke-11 yang diakui UNESCO.
Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Surya Rosa Putra, mengatakan penetapan itu dilakukan dalam sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis, Kamis, (17/12/2020).
baca juga : Tiga negara ikut festival sastra internasional Gunung Bintan
Indonesia dianggap gagal selamatkan Noken Papua sesuai perintah Konvensi UNESCO 2003
Gua Jepang di Biak diusulkan jadi Situs Warisan Dunia UNESCO
UNESCO menilai Pantun memiliki arti penting bagi masyarakat Melayu. Pantun bukan hanya alat komunikasi sosial namun juga kaya akan nilai-nilai yang mejadi panduan moral. Pesan yang disampaikan melalui Pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antar manusia.
“Bagi Indonesia, keberhasilan penetapan Pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda tidak lepas dari keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan,” ujar Surya, Kamis, (17/12/2020).
Surya menyebut keterlibatan baik pemerintah pusat dan daerah, maupun berbagai komunitas terkait Pantun. Di antaranya, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dangdung Morro, Komunitas Joget Dangdung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, serta sejumlah individu dan pemantun Indonesia.
Menurut Surya, Pantun adalah nominasi Indonesia pertama yang diajukan bersama dengan negara lain. Ini, kata dia, merefleksikan kedekatan dua negara serumpun yang berbagi identitas, budaya, dan tradisi Melayu.
Diharapkan Indonesia dan Malaysia berkomitmen melindungi Pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda melalui pelibatan aktif komunitas lokal di kedua negara. Pantun juga dilestarikan dengan diajarkan secara formal di sekolah dan melalui kegiatan kesenian. (*)
Editor : Edi Faisol