Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Warning UNESCO sejak tahun 2015 tentang jalan trans-Papua Wamena-Habema-Keneyam yang mengancam kelestarian taman Taman Nasional Lorentz menjadi catatan yang harus dibenahi.
Mengutip detik.com, Minggu (8/8/2021), UNESCO pada akhir Juli 2021 mendesak Indonesia, agar memberikan detail pembangunan dan meninjau proyek-proyek, yang dituangkan dalam sepuluh keputusan Komite Warisan Dunia tentang pembangunan jalan trans-Papua.
Kepala Balai Taman Nasional (TN) Lorentz, Aca Anis Sokoy mengatakan, laporan yang dikirim pihaknya sudah diterima organisasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Bahwa pembangunan itu tidak merusak properti utama dari kawasan TN Lorentz. Karena kawasan yang terganggu itu sekitar 90 hektare. Kiri kanan jalan. Jadi, sepanjang jalan kiri kanan kalau ditotalkan kurang lebih 90 hektare. Lorentz ini luasnya sekitar 2, 348 juta hektare,” kata Sokoy kepada Jubi di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Minggu (17/10/2021).
Menurut Sokoy, seluas 90 hektare kawasan yang terganggu itu wajar karena kepentingan strategis yang tidak bisa dielakkan. Hal itu disebabkan karena masyarakat butuh pembangunan untuk akses terbuka seperti jalan. Pembangunan jalan itu disebut sudah melalui kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Tetapi teguran itu menjadi perhatian pemerintah bahwa kita harus jaga, kita tidak bikin bongkar besar-besaran, nanti hancur karena itu melintasi Gunung Trikora dan lain-lain,” katanya.
Dia berkata, tegakan nothofagus menjadi perhatian utama di sana. Nothofagus adalah pohon purba peninggalan dari benua purba Gondwana yang masih ada di Papua, Australia, New Zealand dan Pegunungan Andes di Amerika Selatan.
“Itu (pohon purba) yang dijaga. Itu takutnya itu hilang. Punah. Dan berhubungan dengan perubahan iklim juga,” katanya.
Namun demikian, secara teknis pembangunan jalan trans-Papua sudah diakomodasi dalam zona, yaitu zona khusus jalan. Zona khusus permukiman sudah terakomodasi di dalamnya, sehingga pembangunan jalan trans-Papua tidak bisa dielakkan.
“Nduga butuh transportasi, Lanny Jaya butuh transportasi, masyarakat butuh transportasi, karena kemahalan (harga barang-barang) dan lain-lain harus diatasi dengan konektivitas jalan, ya, tetapi tentu dengan pembangunan yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Taman Nasional Lorentz merupakan salah satu dari empat lokasi di Indonesia yang ditetapkan UNESCO dan diakui dunia sebagai situs warisan alam dunia (World Natural Heritage). Empat warisan itu adalah TN Komodo di Manggarai Barat, NTT, TN Ujung Kulon di Banten, TN Lorentz di Papua dan Hutan Hujan Tropis Sumatera. Papua memiliki dua warisan dunia, yakni situs warisan alam dunia TN Lorentz dan warisan dunia takbenda noken. Ihwal ancaman kerusakan TN Lorentz memang harus menjadi perhatian pemerintah dan rakyat di Indonesia.
“Kita harus jaga. Jadi, itu (teguran UNESCO) diimbau, bukan berarti menegur, tidak. Supaya kita jaga,” kata Aca.
Kemudian terkait jalan trans-Papua, lanjutnya, sebenarnya secara zona dan teknis pengelolaan, TN Lorentz dikelola dengan sistem zona. Ada zona inti untuk menjaga dan melindungi spesies penting, nilai-nilai penting atau AOV yang ditetapkan UNESCO. Selain itu ada zona perlindungan, zona pemanfaatan, dan lain-lain.
Zona lain-lain termasuk di dalamnya adalah zona khusus. Zona khusus adalah zona yang dimungkinkan untuk pembangunan sarana dan prasarana umum, permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial, termasuk jalan. Jalan trans-Papua sepanjang 170 kilometer itu ditetapkan sejak 2018 menjadi zona khusus.
“Nah imbauan dari UNESCO terkait jalan tersebut, itu sebenarnya sudah di-warning sejak tahun 2015 sejak konferensi atau sidang Kom 39 di Bonn, Jerman,” katanya.
Peneliti sejarah dan etnografi kolonialisme di Tanah Papua, Veronika Kusumaryati dalam artikelnya berjudul “Jalan TransPapua dan Ancaman terhadap Taman Nasional Lorentz menjadi perhatian UNESCO” yang dipublikasikan Jubi.co.id, 4 Agustus 20210 menulis, TN dibagi-bagi ke dalam berbagai zona, dengan zona inti meliputi 35 persen dari luas taman sementara zona liar terdiri dari 36 persen dan berada di sekeliling zona inti. Zona liar berfungsi untuk memastikan bahwa area ini dapat melindungi area inti taman nasional. Pembangunan Jalan Habema-Kenyam (190km) merupakan pelanggaran berat dari penetapan TN Lorentz.
Proses pembangunan jalan Trans-Papua tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan di seluruh koridor konservasi pulau Papua, tetapi juga mengintensifkan operasi-operasi militer, yang membuat ribuan masyarakat Nduga terus mengungsi hingga saat ini.
“Ancaman terhadap TN Lorentz adalah ancaman terhadap eksistensi orang asli Papua. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan terhadap pernyataan Komite,” tulisnya. (*)
Editor: Kristianto Galuwo