Pansus Kemanusiaan Minta Indonesia evaluasi pengamanan di Papua

Papua
Ilustrasi aparat keamanan di Papua - Jubi. Dok

Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Panitia Khusus atau Pansus Kemanusiaan DPR Papua menyarankan pemerintah mengevaluasi sistem pengamanan di Papua.

Wakil Ketua Pansus Kemanusiaan DPR Papua, Namantus Gwijangge mengatakan, evaluasi perlu dilakukan agar warga sipil di sana tidak selalu menjadi korban dalam pelaksanaan kebijakan pengamanan.

Read More

Menurutnya, selama ini satu di antara kebijakan pengamanan di Papua adalah operasi keamanan atau operasi penegakan hukum. Akan tetapi kalau melihat praktiknya di lapangan, sebenarnya itu adalah operasi militer.

“Sebaiknya pemerintah mengevaluasi penanganan pengamanan di Papua secara menyeluruh pada 2021 ini, karena korban adalah warga sipil, baik mereka yang bekerja, ASN, siswa, dan aparat keamanan juga banyak menjadi korban,” kata Namantus Gwijangge melalui panggilan telepon, Rabu (6/1/2021).

Katanya, jumlah aparat yang dikerahkan mengamankan berbagai wilayah Papua selama ini terkesan berlebihan. Akan tetapi kebijakan itu bukan solusi terbaik.

Sebaliknya, korban dari kalangan warga sipil, aparat keamanan dan pihak yang diduga bagian dari Organisasi Papua Merdeka atau OPM terus berjatuhan.

“Sudah cukup dalam beberapa tahun terakhir ada ratusan orang yang korban dari konflik [bersenjata] di Papua. Pemerintah dan institusi keamanan, mesti duduk bersama melakukan evaluasi,” ujarnya.

Politikus Partai Persatuan Indonesia atau Perindo itu mengapresiasi aparat keamanan yang bertugas di Papua. Katanya, aparat keamanan yang bertugas di Papua memang bertaruh nyawa.

Akan tetapi, dalam melaksanakan tugas tidak mesti selalu mengedepankan tindakan refsesif. Ada berbagai cara atau pendekatan humanis yang dapat dilakukan aparat kemanan.

“Mesti melakukan pendekatan profesional (persuasif), jangan langsung melakukan penembakan. Misalnya [kasus penembakan] di Nduga, Intan Jaya, dan Puncak beberapa waktu lalu. Itu korbannya adalah warga sipil dan siswa,” ucapnya.

Namantus Gwijangge mengatakan, ketika aparat keamanan mencurigai seseorang sebagai bagian dari OPM, kecurigaan itu mesti dipastikan kebenarannya dengan data dan informasi akurat.

Apakah benar warga sipil yang dicurigai itu bagian dari OPM atau bukan. Kalaupun dia anggota OPM jika tidak melakukan tindakan yang mengancam atau membahayakan aparat keamanan, sebaiknya dibina.

“Itu jauh lebih baik daripada mereka ditembak. Mereka juga kan manusia, kalau diperlakukan baik mereka akan merasa diperlakukan secara manusiawi, dan merespons baik. Tapi kalau langsung ditembak, tidak menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru,” katanya.

Direktur Elsam Papua, Mathius Adadikam juga berharap negara tidak lagi menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganan masalah di Papua.

Pihaknya meminta agar negara tidak lagi melakukan operasi penegakan hukum, berbasis operasi militer di Papua. Sebab dengan terus melakukan operasi penegakan hukum, maka akan memperpanjang potensi terjadinya dugaan pelanggaran HAM di Papua.

“Akan tetapi hal penting, kita semua yang terlibat pekerjaan kemanusiaan jangan menyerah. Mesti tetap menjaga solidaritas dan spirit yang telah terbangun, karena itu modal kita mesti banyak tantangan,” ujar Mathius Adadikam belum lama ini.

Katanya, berbagai upaya mesti dilakukan agar tak ada lagi perpecahan di antara faksi faksi dan koalisi koalisi di Papua, agar warga sipil tidak terus menjadi korban.

Tidak menyulitkan upaya pemajuan HAM di Papua dan memperpanjang penderitaan warga sipil.

“Kita mesti bersama melawan tindakan tak manusiawi, dan menghilangkan nyawa secara paksa,” ucapnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply