Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Pertemuan tingkat tinggi orang-orang nomor satu dari 18 negara anggota Forum Kepulauan Pasifik atau PIF segera berlangsung di Tuvalu, dari 13 sampai 16 Agustus 2019 ini. Delegasi West Papua, diwakili Benny Wenda, direncanakan datang dengan “tiket” bersama delegasi Vanuatu.
Kedatangan Benny Wenda bersama delegasi Vanuatu sekaligus penanda bahwa isu hak asasi manusia di wilayah Papua telah menjadi salah satu isu panas yang akan dibicarakan para pemimpin PIF. Vanuatu telah bekerja keras selama beberapa bulan terakhir untuk mengusulkan perubahan pada resolusi PIF soal Papua, agar lebih “berbunyi”, guna mendorong Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bersikap atas persolan West Papua.
Hingga berita diturunkan, mengutip The Guardian Senin (12/8), delegasi West Papua dan Vanuatu sedang mengalami hambatan untuk dapat berpartisipasi dalam KTT PIF. Padahal, seluruh delegasi peserta PIF seharusnya sudah tiba di Tuvalu Selasa (13/8/2019) ini.
Minggu (11/8), Enele Sopoaga, Perdana Menteri Tuvalu dan Dame Meg Taylor, Sekretaris Jenderal PIF, mengatakan mereka tidak mengerti penyebab hambatan keberangkatan kedua delegasi itu. Tampaknya ada masalah administratif di pihak pemerintah Vanuatu, dimana delegasi West Papua berencana berangkat.
Isu panas kembali
Bulan lalu dalam pertemuan tingkat menteri-menteri luar negeri, Vanuatu sukses mendorong isu West Papua agar resmi menjadi agenda Konferensi Tingkat Tinggi PIF Tuvalu. Keberhasilan Vanuatu itu diwarnai keberatan riuh dari Australia.
Para aktivis dan pelobi West Papua di Pasifik, terlebih Vanuatu, betul-betul menggenjot upaya mereka meraih dukungan dari negera Pasifik untuk mengesahkan resolusi PIF yang mendesakkan kunjungan Komisi Hak Asasi (HAM) Manusia PBB ke West Papua. Komisi HAM PBB diharapkan bisa menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di West Papua.
Dilansir abc.net.au (8/8), Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda disebutkan telah bertemu Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare. Wenda mengaku para pemimpin Melanesia bersedia mendukung rancangan resolusi itu, karena isu West Papua memang tak akan pernah tersingkir dari penyikapan para pemimpin Melanesia.
Jika rancangan resolusi itu diadopsi oleh para pemimpin PIF, maka resolusi itu akan menyepakati tenggat waktu yang jelas terkait kunjungan Komisi HAM PBB ke West Papua. Komisi HAM PBB diharapkan membuat laporan tentang situasi HAM di West Papua, dan laporan itu diharapkan dapat dibicarakan pada Forum Pertemuan PIF 2020 mendatang.
Utusan Khusus Vanuatu untuk West Papua, Lora Lini menegaskan Vanuatu telah memenangkan rancangan resolusi itu saat pertemuan para pejabat dan kementerian PIF di Fiji bulan lalu. Pertemuan para pejabat dan kementerian PIF pada bulan lalu itu menetapkan agenda pertemuan para pemimpin tertinggi PIF pada tiga hari mendatang. “Kami sangat berharap hasil dari komunike para perdana menteri PIF dan Vanuatu akan membawa resolusi itu ke Majelis Umum PBB,” kata Lini.
Pada rangkaian lobinya bulan lalu, Benny Wenda berkunjung ke Honiara, dengan ditemani Gubernur ibukota Papua Nugini (PNG), Governor Powes Parkop. Tidak diketahui apakah kapasitas Parkop itu mewakili pemerintah PNG secara resmi, atau tidak.
Secara terpisah, dilansir RNZI (9/8), Parkop yang memang sejak lama telah mendukung isu penentuan nasib sendiri West Papua itu menyarankan Indonesia agar memberi referendum bagi West Papua. Dia juga mendukung desakan resolusi West Papua di PIF.
Dia menuding krisis di Papua meningkat karena negeri-negeri Pasifik tak berani berhadapan dengan kepentingan Indonesia atas persoalan West Papua. Dirinya berjanji akan menyampaikan pesan-pesan serupa terkait West Papua kepada Perdana Menteri PNG, James Marape dan PM Solomon Manasseh Sogovare.
Parkop juga berencana menyampaikan hal itu kepada pemerintah Australia, Selandia Baru, Fiji dan AS, sambil juga meminta pertemuan dengan pemerintah Indonesia.
Bulan Januari lalu, Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet mengatakan pemerintah Indonesia pada prinsipnya setuju menerima kunjungan tim PBB ke Papua. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan berarti atas rencana kunjungan tim PBB itu.
Anggota Forum Pasifik khawatir permintaan kunjungan tersebut tak digubris baik. Forum Menteri-menteri PIF di Fiji berpendapat tenggat waktu yang jelas harus ditetapkan kedua pihak, untuk memastikan kunjungan itu akan terwujud. Tenggat waktu kunjungan PBB ke West Papua itulah yang diharapkan bisa menjadi bagian dari resolusi PIF terkait West Papua.
Vanuatu “menantang” Australia
Sepanjang proses menuju pertemuan tingkat tinggi PIF itu, Australia tetap menjadi pendukung berat pemerintah Indonesia terkait isu kedaulatan Indonesia atas Papua. Seorang wartawan Radio New Zeland Internasional yang telah lama melaporkan dinamika Papua dan negara-negara Pasifik, Johnny Blades menuliskan untuk the Interpreter (7/8), mengutip pernyataan juru bicara Departemen Luar Negeri Australia.
“Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua, seperti sudah termaktub dalam Lombok Treaty 2006. Sehingga Australia tak akan mendukung usaha-usaha yang melemahkan kedaulatan Indonesia atas Papua di forum manapun, termasuk tidak akan mengasosiasikan diri kepada komunike PIF yang menyangkut hal itu”.
Walau demikian ia mengatakan Australia telah secara teratur mengangkat isu-isu terkait HAM Papua dengan pemerintah Indonesia. Menurut Blades, mendahului Forum Kementerian di Suva bulan lalu itu, ada pertemuan para pejabat senior yang membahas resolusi untuk West Papua yang diajukan Vanuatu. Para pejabat Australia berkeberatan dan terus “baku tawar” dengan para pejabat Vanuatu.
Namun akhirnya Vanuatu mendapat dukungan negera Pasifik lainnya. Vanuatu akhirnya bisa memastikan rancangan resolusi soal West Papua itu akan masuk ke dalam agenda pembicaraan para petinggi PIF pada 13 – 16 Agustus 2019 itu.
Upaya selanjutnya dilancarkan Ralph Regenvanu, Menteri Luar Negeri Vanuatu yang mendesakkan hal serupa dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri PIF. Vanuatu lagi-lagi sukses memenangkan rumusan tenggat waktu masuk ke dalam rancangan resolusi PIF itu.
Kemenangan itu telah menempatkan Vanuatu berhadap-hadapan dengan Australia. Tindakan Vanuatu bisa dibilang sangat berani, mengingat besarnya pengaruh ekonomi Australia di Pasifik.
Indonesia gerah
Jakarta tentu gerah dengan perkembangan ini. Apalagi Indonesia baru saja memeras seluruh tenaganya untuk menyelenggarakan eksebisi ekonomi terbesar di Selandia Baru guna “meraih hati” sekaligus peluang ekonomi negeri-negeri Pasifik.
Dilansir benarnews.org (12/8), juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah menyatakan protes keras atas tindakan Vanuatu dan penyertaan Benny Wenda sebagai delegasi.
“Kami sudah sampaikan protes melalui duta besar di Fiji pada minggu lalu, baik tertulis maupun bertemu langsung dengan Sekjen PIF di Suva, Fiji, minggu lalu,” kata Faizasyah, kepada BeritaBenar di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2019.
Indonesia memang bukan anggota PIF melainkan mitra dialog. Walau demikian, menurut Faizasyah, pemerintah Indonesia sangat menentang tindakan Vanuatu karena membela dan mengikutsertakan Benny Wenda, orang yang memperjuangkan pemisahan Papua dari Indonesia, dalam delegasinya. “Dalam hubungan antar-negara, mendukung pemisahan satu negara itu bertentangan dengan prinsip dari PBB,” imbuhnya.
Dia menambahkan, tindakan Vanuatu sama artinya dengan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, sambil kembali menekankan posisi Indonesia tegas terhadap segala bentuk separatisme dan tidak akan mundur terhadap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini merupakan tindakan yang tidak bersahabat. Kami tidak bisa menerima apa yang dilakukan Vanuatu dan ini merupakan sikap permusuhan terhadap negara Indonesia,” ujarnya.
Faizasyah mengaku bahwa hingga saat ini belum ada tanggapan apapun dari Vanuatu terhadap protes yang diajukan Indonesia sejak minggu lalu.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G