Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Ahmad Yunus , jurnalis yang keliling Indonesia pada 2009 lalu, dalam ekspedisi Zamrud Katulitistiwa, mengatakan ketika bersama rekannya, Farid Gaban melakukan ekspedisi, mereka melihat bagaimana sebenarnya fakta keberagaman di berbagai daerah.
Namun jika nasionalisme dikaitkan dengan keberagaman atau realita kehidupan masyarakat di berbagai wilayah, ideologi dimaknai masih sebatas dalam pemikiran.
Pernyataan itu dikatakan Ahmad Yunus dalam dikusi daring “4 Jurnalis Keliling Indonesia Bicara 75 Tahun Indonesia Merdeka dan NKRI Harga Mati.”
Diskusi yang digelar Redaksi Jubi dengan moderator Veronica Koman ini, dilaksanakan pada Senin petang (17/8/2020).
“Memaknai NKRI harga mati, menurut saya, ideologi ini hanya dimaknai dalam realitas pikiran saja. Narasi besar ini yang mesti kita bongkar,” kata Ahmad Yunus.
Menurutnya, komunitas masyarakat di berbagai daerah hanya peduli bagaimana mereka menjalani kehidupan secara layak.
Katanya, jika membaca prinsip dasar Undang-Undang Dasar 1945, betapa mulianya cita-cita negara ini. Akan tetapi pelaksanannya berbeda dengan amanat undang-undang.
“Ini terasa hingga kini. Dalam konteks inilah menurut saya, kita refleksi lagi memaknai kemerdekaan [Indonesia] hari ini. Negara memberikan konsep Otonomi Daerah, tapi seberapa efektif konsep ini menyelesaikan masalah di lapangan,” ucapnya.
Rekan seperjalan Ahmad Yunus dalam ekspedisi Zamrud Katulistiwa, Farid Gaban mengatakan Indonesia keren. Akan tetapi terlalu banyak slogan dan jargon yang tidak berupaya diwujudkan.
“Inilah problemnya. Di atas nasionalisme ada kemanusiaan. [Nilai] kemanusian lebih tinggi dari negara. Saya juga tak akan mengklaim, saya nasionalis. Saya menyerahkan kepada pihak lain menilainya,” kata Farid.
Ketika berkeliling Indonesia, Farid Gaban dan Ahmad Yunus mendatangi sekitar 80 pulau atau sekitar 40 gugus kepulauan, dari Aceh hingga Papua. Sebagian merupakan pulau terluar.
Apa yang mereka dapat dari perjalanan itu, mengkonfirmasi betapa beragamnya Indonesia dan menikmati keindahan alam.
“Tapi ada satu problem yang saya lihat, kita masih mewarisi cara berpikir Orde Baru. Jakarta sentris, berorientasi pada fisik, pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap alam. Menurut saya, itu tidak bisa dijadikan ukuran kalau mau sejahtera,” ujarnya.
Katanya, cara berpikir yang diperkuat berbagai slogan semisal NKRI harga mati ini mesti diubah, karena negara tidak pernah menjadi harga mati.
“Bahkan secara teritorial wilayah, Indonesia tidak mati sejak kemerdekaan. Teritori negara dan secara politik bisa berubah-ubah,” ucapnya. (*)
Editor: Syam Terrajana