Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib menyesalkan kepengurusan ganda Lembaga Masyarakat Adat (LMA) di Kabupaten Nabire. Pasalnya, di Kabupaten ini terdapat tiga ketua LMA. Menurutnya, hal tersebut sangat merugikan masyarakat adat itu sendiri.
“Sebagai lembaga kultur, MRP sangat sesalkan keadaan seperti ini,” ujar Timotius Murib di usai reses di Nabire, Jumat (26/07/209).
Menurut Murib, jika ada kepengurusan ganda bahkan ada tiga ketua LMA di Nabire sepereti isu yang berkembang, maka sangat merugikan masyarakat adat asli Papua di Kabupaten ini.
Murib bilang, LMA harus satu, memiliki satu payung hukum dengan satu kepengurusan. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat adat mendapatkan arahan dari satu LMA. Agar masyarakat tidak bingung ke mana LMA yang sesungguhnya.
“Kalau seperti ini masyarakat pasti bingung dan pastinya menyusahkan mereka sendiri, hak mereka terabaikan dan tidak bisa disampaikan karena ada tiga. Saya berharap tidak boleh terjadi di kabupaten lain,” harapnya.
Timotius Murib berharap kepada masyarakat adat, para tokoh adat di daerah ini segera meniadakan polemik kepengurusan ganda LMA agar hanya satu yang yang bekerja.
Terpisah, salah satu ketua LMA Kabupaten Nabire, Ayub Kowoi mengakui jika beredar tiga ketua LMA di daerah ini. Namun, dia mengklaim dirinya sebagai pengurus sah yang telah dilantik di Jayapura pada tahun 2010 silam.
LMA di Nabire, klaim Kowoi, hanya satu kepemimpinan yang sah yakni dirinya. Dan hingga hari ini, belum ada musyawarah daerah untuk menggantikan pimpinan LMA.
“Kalau sudah ada musda, baru ada pemilihan badan pengurus baru dan hal ini belum dilakukan selama ini, berarti selama ini belum ada pengurus baru,” katanya.
Kowoi menuding terkesan ada LMA gadungan yakni salah satu oknum berinisial (KM). Ia meminta kepada oknum KM, untuk tidak melakukan manuver – manuver dan mengangkat dirinya sebagai ketua LMA di Nabire.
“Jadi saya minta KM stop tipu – tipu orang di Nabire,” terangnya.
Dia bilang, pengurus LMA lahir dari satu musyawarah daerah yang resmi yang dihadiri oleh berbagai pihak. Diketahui oleh semua pihak, pemerintah daerah maupun masyarakat adatnya.
Kemudian yang berhak untuk melantik adalah pengurus LMA Pusat. Bahkan bila perlu yang melantik adalah MRP sebagai lembaga kultur di Papua. Maka MRP berhak untuk melantik, mengukuhkan dan mengesahkan LMA. Bukan pemerintah atau lembagai lain seperti selama ini terjadi, ini ranahnya adat.
“Sehingga, untuk wilayah Nabire, saya sebagai ketua, kemudian setiap suku OAP ada perwakilan pengurus dengan jabatan wakil ketua. Kita melibatkan semua suku agar tidak terkesan hanya satu,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Suku Moora, Donatus Sembor menyesalkan tiga kepengurusan LMA di daerah ini. Lembaga ini dinilai tidak jelas dan simpang siur dan membawa Nabire di persimpangan jalan.
“Akhirnya kita mau ke LMA yang mana, kita bingung, dan tidak tahu mereka kapan dilantik,” sesal Sembor.
Katanya, ada tiga oknum yang saling mengklaim sebagai ketua LMA. Hal ini sangat membingungkan dirinya bahkan masyarakat adat.“Kami bingung mana yang benar, semua akui ketua LMA,” tandasnya. (*)
Editor: Syam Terrajana
.