Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua didorong segera mengajukan permohonan uji formil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Mahkamah Konstitusi. Uji formil itu akan menguji apakah proses penyusunan dan pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru itu memenuhi prosedur dan dirumuskan dengan partisipasi masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid selaku pembicara dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diselenggarakan di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, 2 – 4 Februari 2022. Usman menyatakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) mengubah atau menghapuskan pengaturan sejumlah wewenang khusus yang diberikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).
“Kalau uji materil, itu memeriksa pasal per pasal mana yang bertentangan dengan UUD 1945. Kalau uji formil, dia memeriksa apakah proses perumusan pembahasan dan pengesahan dari hasil amandemen kedua ini dilakukan dengan partisipasi masyarakat yang bermakna,” jelas Usman.
Baca juga: MRP gelar bimtek peningkatan kapasitas di Sentani
Usman Hamid mencontohkan kasus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dan salah satu alasannya karena UU itu dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat.
“[UU Cipta Kerja] dibahas tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna, diputuskan dan disahkan tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna. Karena itu, Mahkamah Konsitusi berpendapat UU itu inkonstitusional. Alasan inilah yang bisa digunakan sebagai pembelajaran bagi Majelis Rakyat Papua untuk menambahkan langkah hukum yang baru, dengan melakukan permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Usman.
Usman menyatakan jika Mahkamah Konstitusi berpendapat UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua tidak lolos uji formil, bisa saja seluruh naskah UU itu dibatalkan. “Jadi, itu yang saya kira perlu dilakukan oleh MRP selain tentu saja mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan tugas wewenang dari MRP,” kata Usman.
Menurutnya, langkah itu layak dilakukan, karena UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua itu sarat masalah. “Pertama, mengapa partai lokal, yang sebenarnya sudah dijamin dalam UU Otonomi Khusus itu dihapuskan? Yang kedua, mengapa UU yang baru diberikan ini memberikan semacam badan khusus yang baru di bawah Wakil Presiden? Padahal sifat Otonomi Khusus itu adalah desentralisasi kekuasaan,” kata Usman.
Baca juga: MRP tutup Bimbingan Teknis untuk pimpinan dan anggotanya
Ia menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, supaya dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja. Akan tetapi, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mengurangi sejumlah kewenangan khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada Papua melalui UU Otsus Papua.
“Yang sekarang terjadi, dengan pembentukan badan khusus Papua, itu seperti resentralisasi atau mengambil kembali kekuasaan pemerintahan dari pemerintah Papua ke pemerintah Jakarta. Misalnya melalui [badan khusus yang baru di bawah] Wakil Presiden [itu],” kata Usman.
Masalah lainnya, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua juga mengubah pengaturan wewenang MRP untuk menyetujui atau menolak rencana pemekaran. “Dengan kata lain, pemekaran wilayah bisa dilakukan tanpa ada persetujuan dari MRP. Ini masalah yang sangat-sangat serius,” pungkas Usman.
“Jadi, saya meminta kepada pemerintah di Jakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan Mendagri untuk menunda pelaksanaan UU hasil amandemen ini sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi, setidaknya dalam dua-tiga bulan ke depan. Itu penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran normatif lebih jauh dari pelaksanaan UU Otsus Papua,” kata Usman.
Untung-rugi UU baru
Ketua MRP, Timotius Murib berharap Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP itu memberi pengetahuan dan pemahaman soal “untung-rugi” pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Murib menyatakan pihaknya kecewa, karena revisi UU Otsus Papua yang awalnya dikehendaki rakyat Papua sebagai jalan untuk memperkuat Otsus Papua justru menghasilkan UU yang memperlemah Otsus Papua.
“Saya pikir perubahan kedua itu memang dikehendaki oleh rakyat Papua. Tetapi kemudian proses perubahan itu tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur. Rakyat Papua merasa tertipu karena awalnya hanya dua atau tiga pasal saja yang ingin diubah, tetapi kemudian dalam mekanisme perubahan itu menjadi 19 pasal. [Ada] pengabaian terhadap partisipasi masyarakat terhadap perubahan UU itu,” kata Murib.
Hal itulah yang membuat MRP mengundang para ahli untuk menyampaikan pandangan mereka tentang untung-rugi pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. “Ada sejumlah pasal yang berpotensi merugikan rakyat. Melalui pembekalan ini, pimpinan dan anggota MRP mendapatkan peningkatan kapasitas dan pengetahuan untuk kami akan sosialisasikan ke lima wilayah adat,” kata Murib. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G