Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Freedom Squad terbentuk dari sikap rasis beberapa kawan dancer di Papua,” kenang Ilham Murda, salah satu inisiator terbentuknya grup modern dancer Freedom Squad, di Kota Jayapura, Provinsi Papua.
Iam, nama panggung pria berusia 33 tahun ini, berkisah tentang sejarah terbentuknya grup Freedom Squad yang diampunya, yang awalnya bernama Neutron 19. Jumlah anggotanya berkisar 30-an kala itu. Namun karena ada beberapa kawan Melayu yang orangtua mereka berdiaspora ke Papua, dan tak ingin ada anak asli Papua di grup itu, Iam memilih membentuk grup sendiri yang dinamai Freedom 99.
“Freedom berarti kebebasan. Jadi di grup ini siapa saja bisa bergabung. Angka 99 saya ambil dari tahun dibentuk, yaitu pada 7 Juli 1999,” katanya, saat ditemui di salah satu kafe di PTC Entrop, Kota Jayapura, Rabu (4/7/2018).
Iam mengaku tidak sejalan dengan beberapa kawan-kawannya di Neutron 19 yang bersikap rasis, karena ia sadar dilahirkan dan tumbuh besar di tanah Papua. Kedua orangtuanya berasal dari Sulawesi Selatan, dan berdiaspora ke Papua sejak medio 1960-an.
“Sejak kecil saya berkawan dengan anak asli Papua. Saya terlanjur cinta dengan tanah ini.”
Pada usia 4 tahun, Iam mulai mengenal modern dance dan menyukai musik rap, karena diberi hadiah ulang tahun oleh kakaknya sebuah album bertajuk Pesta Rap. Beranjak remaja, ia mulai menggemari Michael Jackson.
Seiring waktu, Freedom 99 akhirnya mengubah nama menjadi Freedom Squad. Mereka berkali-kali menjuarai kompetisi dance di Papua. Usaha mereka tak sia-sia, bermodal tekad yang gigih, akhirnya mereka bisa mewakili Indonesia sampai ke kompetisi di tingkat Asia, pada Februari 2009.
“Saya dan dua orang teman ikut kompetisi Let's Dance Goes to Japan di Makassar, kemudian lolos sampai di Jakarta. Berhasil menjadi juara satu di Jakarta, kami mewakili Indonesia ikut kompetisi Gatsby Styling Dance Contest PAN Asia 2009, di Shibuya, Jepang.”
Menurut Iam, lolosnya mereka sampai ke Jepang, karena gerak tari mereka yang kerap dikolaborasikan dengan gerak tarian khas daerah, khususnya Papua, semisal tarian Suku Asmat, tarian Wor dari Biak, dan tarian dari Nabire.
“Kami tidak kesulitan memadupadankannya, sebab unsur gerak di modern dance hampir serupa dengan tarian khas Papua,” jelasnya.
Terkadang, ketika memikirkan konsep koreografi, Iam sering memasukkan unsur alam dalam tarian mereka, seperti gerak-gerik beberapa binatang. “Burung itu kalau melihat ke samping, pasti gerak kepalanya patah-patah. Seperti pada Tari Cenderawasih.”
Di Jepang, Freedom Squad berhasil meraih juara ketiga, dari enam negara lainnya yang menjadi peserta di antaranya Jepang, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Korea. Iam mengaku lupa yang ikut saat itu grup dancer dari Korea Selatan atau Korea Utara, seingat dia hanya Korea.
“Juara satu, Jepang. Juara kedua dari Hong Kong. Kami juara tiga, tapi kami saat itu membawa nama Freedom Squad Makassar,” kisahnya, sambil menunjukkan video aksi mereka saat bertanding di Jepang, dari channel Youtube Gatsby Indonesia.
Setelah ikut kompetisi itu, nama mereka pun ikut melambung, dan secara personal mereka mulai terpisah dan ikut bergabung dengan para koreografer di Jakarta, yang berhasil membawa mereka sampai ke belahan dunia lain.
Salah satu kawannya, Pitos Haris, sempat ikut audisi dan terpilih sebagai penari latarnya Agnez Monica, kendati akhirnya ia memilih hengkang. Ia sendiri ikut bersama Jecko's Dance Company, yang diampu salah satu dancer terkenal asal Papua, Jeck Kurniawan Siompo Pui, yang berhasil membawanya berkunjung ke beberapa negara.
“Saya pernah ikut menari dengannya pada tur yang digelar di Hamburg, Berlin, Singapura, Melbourne, pada 2011,” katanya.
Sampai sekarang, kata dia, Freedom Squad tak hanya beridiri di Jayapura. Beberapa anggota yang berpindah mukim, membentuk Freedom Squad di daerah yang mereka tinggali, seperti di Tangerang, Makassar, Surabaya, bahkan sempat dibentuk pula di Palu dan Manado.
Tapi perjalanan panjangnya itu, tak membuat Iam lupa akan tanah kelahirannya. Ia kembali ke Jayapura awal Januari 2015 dan menjadi dosen seni tari di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua. Ia juga tengah menempuh pendidikan S3 Antropologi di Universitas Cenderawasih.
Saat ini ia serius mendalami sinematografi. Di bawah naungan forum Indonesia Art Movement yang dibentuknya April 2016 lalu, ia menggarap film pendek Miki’s Hope, yang bertema kritik sosial. Selain itu, belum lama ini ia merilis film seri pertama di Papua di channel Youtube Indonesia Art Movement (IAM), berjudul Ko Pi di Bulan Mei.
“IAM adalah wadah dan rumah edukasi, yang akan menjadi tempat anak-anak Papua berkarya.”
Freedom Squad tak pernah mati
Ketua Freedom Squad Jayapura, Rusdy Matlawa (23), masih bersimbah keringat ketika ditemui di PTC Entrop, Kota Jayapura, Rabu (4/7/2018). Ia baru saja kembali dari latihan dengan anggota Freedom Squad lainnya. Pekan ini, mereka diundang sebagai pengisi acara di salah satu event di Kota Jayapura.
“Kami biasanya mengisi acara, agar mendapat uang yang bisa juga kami sisihkan untuk uang kas.”
Jumlah honor yang mereka patok untuk sekali tampil, berkisar Rp 5 juta. Biasanya, honor tergantung pula dari seberapa besar event yang akan dihelat.
Rusdy yang menjadi ketua Freedom Squad Jayapura sejak 2014, mengatakan saat ini anggota yang diampunya ada 40-an. Ia dipilih menjadi ketua, berdasarkan voting anggota Freedom Squad dari generasi pertama, sampai generasi keempat. Ia termasuk di generasi ketiga Freedom Squad, yang bergabung sejak 2007 lalu.
Setiap kali latihan, kata dia, mereka memilih lokasi di emperan toko, sampai menyewa per jam di tempat fitness di PTC Entrop.
“Di sini tak ada gedung seni yang bisa menjadi wadah anak-anak muda berkarya. Kami pernah meminta bantuan Pemerintah Kota Jayapura, untuk memfasilitasi kami berkarya, tapi tidak digubris,” kata pria lulusan Fakultas Ekonomi, di Universitas Yapis Papua.
Ia mengaku prihatin dengan anak-anak dan remaja yang akhirnya terjerumus ke penyalahgunaan lem, yang belakangan ini cukup marak di Papua.
“Mereka tidak tahu ingin menyalurkan bakat mereka di mana. Akhirnya, maaf, memilih isap lem dan hal-hal negatif lainnya.”
Namun minimnya fasilitas, tak menyurutkan semangat mereka untuk berkarya. Freedom Squad di generasinya, sering pula menjuarai berbagai ajang kompetisi di Papua, pun tingkat nasional.
“Kami sempat meraih juara tiga di ajang bergengsi Power Dance di Makassar tahun 2014. Kemudian 2015, kami berhasil menjuarai event besar di Manokwari.”
Ia dan adiknya, Fachry Matlawa, yang juga anggota Freedom Squad, sempat mengikuti audisi dance di Jakarta, dan diajak syuting sebuah sinetron yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional. Pada medio 2014-2016 itu, ia bersama adiknya sempat menetap di Jakarta, namun memilih pulang ke rumah di Entrop, Kota Jayapura. Sepulangnya dari Jakarta, pada 2017 kemarin, Freedom Squad kembali berkompetisi sampai ke Bali.
Belum lama ini ia mengunggah video dance kawan-kawannya di Instagram, dan telah ditonton ribuan akun. Menurut Rusdy, video tersebut sebagai bukti bahwa Freedom Squad masih eksis. “Kami masih berkarya.”
Salah satu anggota generasi keempat, Ori Manggombrab (22), yang bergabung sejak 2014 mengatakan, untuk bisa menjadi anggota Freedom Squad, ada beberapa tahapan yang harus dilewati.
“Kami harus latihan basic dulu, misalnya popping, locking, dan dasar-dasar lainnya, kemudian koreografi. Setelah dua tahun, saya baru bisa tampil di panggung. Kalau sudah berhasil manggung, kami resmi menjadi anggota Freedom Squad,” kata Ori yang saat ini sedang mengeyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih.
Menjadi member di Freedom Squad pun tak sulit. Mereka hanya diwajibkan membeli kaus Freedom Squad, dan dipungut iuran per bulan Rp 50 ribu.
Rio yang tinggal di Distrik Abepura, Kota Jayapura, mengatakan saat ini ia kerap terlibat sebagai salah satu koreografer di Freedom Squad. Ia mengaku tak asing lagi dengan koreografi yang dipadupadankan dengan tarian khas Papua. Apalagi saat ini, kata dia, mencari referensi untuk jenis-jenis tarian bisa dengan berselancar di Youtube.
“Jika kami merilis video, kami selalu menyisipkan koreografi dari tarian khas Papua, semisal tarian Asmat dan Wor,” kata Rio yang berdarah Biak dari ayahnya, dan ibu berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan.
Tak jarang mereka pun mengkolaborasikan modern dance dengan tarian kontemporer Yosim Pancar (Yospan). Yospan adalah gabungan tarian kreasi rakyat Papua, dari Tari Yosim yang cenderung mirip dengan Poleneis atau jenis dansa asal Eropa, dan Tari Pancar. Tari Yosim berasal dari daerah pesisir utara Papua. Sementara Tari Pancar berasal dari Biak, Numfor, dan Manokwari.
“Karena ada beberapa kawan berkuliah di ISBI, jadi kami tak kesulitan saat mengkolaborasikan gerak yang berunsur modern dan tradisional. Mereka diajari semua jenis tari di Papua, yang kita tahu ada sekitar 20-an lebih,” katanya.
Freedom Squad memang tak hanya berkutat pada dance. Mereka juga membuat distro untuk menampung kreativitas. Desain-desain baju mereka pun selain bertema Freeedom Squad, ada pula yang bercorak West Papua.
Menurut Rusdy, karena kecintaannya akan tanah Papua, ia paham ada ketidak-adilan yang terjadi di Papua. Untuk itu, Freedom Squad terkadang tampil dengan atribut West Papua, sebagai bentuk perhatian mereka atas hak-hak orang Papua yang selama ini tidak terpenuhi.
“Kami jelas concern dengan orang-orang asli Papua. Apalagi, modern dance tak melulu soal lantai dansa. Selain turut mengangkat budaya Papua, kami ikut menyuarakan keprihatinan secara simbolik,” katanya.
Karena modern dance yang segendang-sepenarian dengan musik hip hop, kata dia, mereka pun kerap berkolaborasi dengan grup hip hop asli anak Papua, yang juga ikut menyuarakan kritik sosial dalam lirik-lirik lagu mereka.
“Kami sering bekerja sama dengan grup hip hop seperti DXH Crew dan Boy Rap Polimak. Bahkan brand kami bertema West Papua pun, ikut mereka pakai ketika manggung,” terangnya.
DXH Crew, kritik lewat lirik
Sweter hitam bergambar Pulau Papua bercorak Bintang Kejora, membalut tubuh pria tambun bernama Onesias Urbinas (26). Di punggung sweter, tertulis One People, One Soul masih dengan corak yang sama berwarna merah, biru, dan putih. Sweter yang ia pakai itu, dibeli dari distro Freedom Squad.
Pria bernama panggung Epo ini, salah satu personel DXH Crew, grup hip hop di Kota Jayapura. Saat ditemui di rumah kontrakannya sekaligus studio rekaman, di Polimak 2 Karang, Kota Jayapura, Senin (2/7/2018), Epo tengah bersama dua orang temannya, Rocky Haumahu (26) dan Jow Ariesto Rumbrar (26), yang juga personel DXH Crew.
“Kami dibentuk sejak 16 April 2011. Awalnya kami beranggotakan lebih dari sepuluh orang. Tapi karena kesibukan masing-masing yang aktif sekarang tinggal kami berenam. Jadi masih ada tiga anggota lagi yakni Jordan Karelau, Krestensen Watopa, dan Alexander Wanggai,” kata Epo, sembari mengatur posisi snapback bertuliskan West Papua, yang bertengger di kepalanya.
Epo berkisah, awal perkenalannya dengan musik hip hop ketika ia masih di sekolah menengah pertama, pada medio 2005. Saat itu, kupingnya terasa nyaman ketika mendengar irama lagu grup NEO, salah satu grup rap yang tenar di Jakarta sejak tahun 1990-an itu. “Lagu-lagu Eminem juga sedang hits kala itu.”
Seiring waktu, ia dan kawan-kawannya mulai terpengaruh penyanyi hip hop atau para rapper Afro-Amerika, seperti N.W.A, Nas, Jay-Z, dan Snoop Doog. Epo mengaku, darah ras Melanesia yang mengalir di tubuhnya, membuat ia tertarik dengan rapper berkulit hitam di Amerika.
“Bapa sa (saya) dari Biak, sementara Mama sa dari Palu. Di Papua, selain reggae, hip hop juga digemari anak-anak muda. Dan rata-rata idola kami musisi-musisi hip hop kulit hitam di Amerika.”
Selama berkarya, DXH Crew telah melahirkan seratus lebih lagu. Akan tetapi, saat ini mereka hanya menyeleksi beberapa single, yang kemudian mereka buat video klipnya dan diunggah di Youtube.
“Kami juga berkolaborasi dengan Freedom Squad, di salah satu video klip lagu berjudul Pinang. Dalam lirik, kami sering memakai bahasa lokal, misal ko (kau) dan sa (saya). Beberapa lagu kami bisa ditonton di Youtube,” kata pria yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik, Universitas Pandanaran, Semarang. Pada 2015, Epo memilih cuti panjang dan kembali ke Papua.
Epo selain mencipta lagu untuk DXH Crew, ia belum lama ini mencipta single berjudul Mutiara, yang dinyanyikan oleh Shesnie R.E.P, dan video klipnya berisi tari kontemporer dari penari asal Papua, Abugrey, yang kini bermukim di Jakarta. Lagu Mutiara bergenre etnik dan hanya diiringi ketukan tifa. Liriknya mengkritisi soal eksploitasi sumber daya alam di Papua.
“Saya terinspirasi dari status di media sosial seorang senior kami di Papua. Ia cukup kritis.”
Sebagai bentuk penghargaan untuk para rapper di Papua dan Papua barat, Epo baru-baru ini menginisiasi Black Kasuari Papuan Awards 2018. “Ini baru kali pertama dihelat. Kami sedang mengumpulkan data, dan akan menyeleksinya. Semoga ini menjadi wadah agar para rapper di tanah Papua bisa terus berkarya.”
Tahun depan, kata salah satu personel DXH Crew, Jow Ariesto Rumbrar, mereka akan merilis album perdana bertajuk Bintang Kejorap. Sebagian materi lagu di album tersebut berisi kritik sosial.
“Medium kita untuk mengkritik ada banyak. Salah satunya dalam musik. Kami tak bisa menutup mata, bahwa di Papua ada banyak terjadi kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas,” kata Jow, yang juga sempat berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan juga memilih cuti panjang sejak 2016.
Jow mengatakan, di Papua dan Papua barat, ada ratusan grup dan penyanyi hip hop. Akan tetapi, hanya segelintir saja yang lirik-liriknya berisi kritik sosial.
“Kebanyakan hanya main diss sesama rapper. Dissing memang biasa di hip hop, itu juga untuk melatih mental adik-adik. Tapi dissing tak hanya soal hujat menghujat, yang terpenting adalah seberapa kaya perbendaharaan kata para rapper. Untuk itulah, di beberapa ajang perlombaan, kami sering memasukkan kategori kritik sosial.”
Sekarang ini, DXH Crew mengampu beberapa grup hip hop di Jayapura, di antaranya satu grup rapper perempuan bernama Permen R.E.P, 09 Project, dan Area 22.
“Di era serba digital ini, cukup membantu kami untuk mempromosikan lagu. Apalagi sejak ada Youtube. Kami lebih mudah melempar single terbaru.”
Jayapura sendiri, diketahui memiliki beberapa rapper berkualitas, salah satunya yang cukup dikenal di kancah hip hop Indonesia ialah Rand Slam. Ia kini menetap di Bandung. Album Rimajinasi miliknya terpilih sebagai album terbaik 2017 oleh Vice Indonesia dan Warning Magazine. Lagunya pun kerap menyisipkan bait kegelisahan atas ketimpangan dan penindasan di tanah Papua. (*)