Mengusir wartawan asing dari Asmat bukan solusi

Papua No. 1 News Portal | Jubi,

Jayapura, Jubi – Tiga kontributor dan jurnalis BBC Indonesia, yakni Dwiki, Affan dan Rebecca tak bisa melanjutkan aktivitas jurnalistiknya di Kabupaten Asmat Papua, setelah diperiksa polisi di Agats, ibu kota Asmat. Ketiga jurnalis itu kemudian dibawa ke Timika, Kabupaten Mimika untuk dimintai keterangan oleh petugas imigrasi, sebelum diterbangkan ke Jakarta, akhir pekan lalu.

Pengusiran’ wartawan BBC ini terjadi setelah pihak Satgas Kesehatan TNI melaporkan Rebecca ke kepolisian. Mereka (TNI) merasa dirugikan dengan cuitan Rebecca di akun twitter pribadinya.

Sikap terkesan sensitif, dan langsung melaporkan masalah ke Kepolisian, justru menimbulkan perdebatan dan berbagai persepsi baru. Akan muncul pro-kontra dari berbagai pihak, setelah tiga jurnalis BBC Indonesia, diduga diusir dari Asmat.

"Sekarang ini menjadi perdebatan, menjadi polemik. Pihak TNI mestinya menyadari keberadaan jurnalis di Asmat juga untuk mempublikasikan bantuan kemanusiaan yang mereka berikan untuk korban penyakit campak dan gizi buruk di sana," kata Laurenzus Kadepa, anggota DPR Papua dari komisi politik, hukum, HAM, keamanan, dan hubungan internasional.

Laurenzus beranggapan, keberadaan jurnalis di Asmat selama kasus campak dan gizi buruk telah banyak mempublikasikan pelayanan yang dilakukan berbagai pihak, termasuk TNI.

"Jangan hanya mau diberitakan yang baik-baik. Harus juga bisa terima kritik. Kenapa wartawan BBC diusir dari Asmat, saya rasa ini lucu. Kalau seperti ini bagaimana mungkin dunia luar percaya kalau TNI membantu kemanusiaan di Asmat," ujar anggota Komisi I DPR Papua itu.

 

TNI Papua keluarkan rilis pers

Mendapat tekanan publik, khususnya dari kalangan jurnalis, TNI di Papua mengeluarkan rilis. Kepala penerangan kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muh Aidi mengatakan, cuitan Rebecca di akun twitter pribadinya telah melukai hati prajurit TNI di Asmat.

"Bukan hanya sekali Rebecca menulis cuitannya. Dia juga menulis anak-anak yang mengalami gizi buruk hanya diberikan coklat biskuit," kata Kolonel Inf Muh Aidi dalam keterangan persnya kepada wartawan, pekan lalu.

Cuitan lain yang membuat pihak TNI merasa dirugikan, berupa gambar dua prajurit yang sedang memegang anak burung. Katanya, saat itu ada masyarakat datang membawa seekor anak burung, dipegang oleh prajurit sambil berkata kenapa anak burung sekecil ini sudah ditangkap? Foto itu disandingkan dengan foto burung nuri yang ada dalam boks.

"Foto itu diunggah dengan tulisan prajurit TNI membeli burung yang dipesan dari hutan. Ini pencemaran nama baik. Seseorang difoto secara diam-diam kemudian disebar ke media dengan informasi yang tidak sesuai kenyataan," ujar Kapendam.

Menanggapi alasan TNI, Alianasi Jurnalis Independen (AJI) menyesalkan cuitan itu menjadi dasar menghalangi aktivitas peliputan jurnalis di Papua. Meski tak ditemukan ada pelanggaran administratif yang dilakukan, ketiga jurnalis ini tak bisa melanjutkan liputannya karena aparat keamanan mengawalnya menuju bandara untuk naik pesawat ke Jakarta.

"Kami mengecam pengusiran jurnalis BBC ini. Peristiwa ini juga mengesankan ada ketakutan pemerintah terhadap peliputan media asing soal kondisi Papua," kata Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia di Jakarta, Sabtu (03/02/2018).

AJI menilai, kasus ini tidak sejalan dengan janji Presiden Joko Widodo tiga tahun lalu, saat menghadiri Panen Raya di Kampung Wameko, Hurik, Merauke, 2015.
Ketika itu Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang intinya menegaskan, Papua terbuka bagi jurnalis asing untuk melakukan peliputan.   Penegasan ini juga disampaikan pemerintah, saat Indonesia menjadi tuan rumah peringatan World Press Fredom Day, 3 Mei 2017.

"Kasus terbaru di Papua ini merupakan salah satu indikasi bahwa pemerintah tak serius dengan janjinya untuk lebih membuka akses jurnalis ke Papua," ucap Manan.

 

Pengusiran kerap terjadi

Data AJI Indonesia menunjukkan sepanjang 2017, setidaknya ada delapan jurnalis asing yang dideportasi ketika melakukan peliputan di Papua. Alasan yang dipakai sebagai dasar pengusiran adalah masalah pelanggaran administrasi, yaitu tak memiliki visa jurnalistik saat melakukan liputan di provinsi di ujung timur Indonesia ini.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Hesthi Murthi mengatakan, kasus ini juga menunjukkan bahwa aparat negara tidak memahami fungsi pers sebagai alat kontrol sosial seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Kritik yang disampaikan media berdasarkan fakta di lapangan seharusnya disikapi dengan bijak sebagai masukan untuk memperbaiki penanganan campak dan busung lapar di Asmat dan Papua, jangan dijadikan dalih untuk membatasi akses jurnalis," terang Hesthi Murthi. (*)

Related posts

Leave a Reply