Menghidupkan ibadah keluarga di tengah ancaman pandemi

Misa Kamis Putih di kediaman Zakarias Rumlus di Kelurahan Karang Mulia, Nabire, pekan lalu. –Jubi/dok. keluarga.
Misa Kamis Putih di kediaman Zakarias Rumlus di Kelurahan Karang Mulia, Nabire, pekan lalu. –Jubi/dok. keluarga.

Menjalani ibadah di keluarga merupakan bentuk adaptasi selama menghadapi pandemi covid-19. Pintu hati umat tetap terbuka untuk memuliakan Tuhan.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Read More

ROMO Simon Ciptasuwarno, SJ tidak mampu menahan haru. Dia baru kali ini merasakan memimpin misa Kamis Putih yang hanya dihadiri 25 orang. Itu pun bukan di gereja melainkan sebuah ruangan.

Romo Cipto, begitu sapaan akrabnya harus memimpin misa melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Nabire, pekan lalu. Itu semua karena situasi pandemi covid-19.

Dia semakin terharu mana kala membayangkan kondisi umat yang mendengarkan siaran khotbahnya di kediaman masing-masing. Romo Cipto turut merasakan kesedihan umat, tetapi dia menyakini kondisi saat ini tidak melunturkan sedikit pun keimanan mereka.

“Semua umat pasti bersedih. Namun, inilah konsekuensi yang harus ditaati

bersama demi memotong mata rantai pandemi covid-19,” kata pastor yang memiliki pengalaman memimpin misa sejak 34 tahun lalu.

Konsekuensi tersebut membuat umat harus beradaptasi dalam menghayati keimanan. Itu pun patut disyukuri sebagai hikmah di balik bencana global.

“(Pandemi) covid-19 mendorong umat di seluruh dunia belajar menghayati iman secara (dengan model) baru. Bukan memusat dalam satu atau beberapa kerumunan besar, melainkan menyebar dalam setiap keluarga atau perseorangan,” ujar Romo Cipto.

Altar kecil keluarga

Keharuan dalam merayakan Tri Hari Suci juga merundung sejumlah umat Katolik di Nabire. Mereka sedih bahkan kecewa karena tidak bisa beribadah di gereja. Semua misa selama Kamis Putih, Jumat Agung hingga Paskah diikuti mereka melalui siaran radio di rumah.

“Kami mengerti bahwa ini situasional. Jujur, kami sangat sedih, tetapi tidak berdaya,” ungkap Zakarias Rumlus, umat dari Paroki Kristus Sahabat Kita (KSK) Nabire.

Rumlus sekeluarga memantengi siaran RRI untuk menjalani misa Paskah jarak jauh. Mereka mendapatkan jadwal siarannya dari Dekenat Teluk Cenderawasih melalui Paroki KSK Nabire.

Keluarga Rumlus telah menyiapkan sebuah altar kecil di rumah mereka, sejak dua pekan sebelumnya. Itu setelah mereka mendapat pemberitahuan resmi dari pengurus paroki bahwa misa Minggu hingga misa Paskah tidak bisa dilangsungkan di gereja. Umat diimbau mengikuti misa melalui siaran RRI Nabire.

“Ibadah menjadi kurang fokus (khidmat). Kami tidak (merasakan) menyambut atau menerima tubuh dan darah Kristus. Kami menjadi kurang menghayati peristiwa kesengsaraan hingga kebangkitan Kristus,” kata lelaki berusia 60 tahun tersebut.

Kesedihan serupa juga meliputi hati Yohanes Reyaan. Dia sejak semula sudah mencemaskan bahwa umat akan menjalani perayaan Paskah di tengah ancaman pandemi covid-19. Kecemasannya ternyata terbukti.

Walaupun pintu gereja ditutup, Reyan meyakini pintu rumah dan pintu hati umat selalu terbuka dalam menerima kehadiran Tuhan. “Mungkin terasa lain (janggal) saat mengikuti misa secara live streaming (siaran langsung) RRI. Namun, saya yakin suasana Pekan Suci benar-benar terasa apabila kita bisa mengikutinya dengan penuh hikmat.”

Menghidupkan ibadah keluarga

Petrus Petege, umat dari Stasi Antonius sependapat bahwa memuji dan memuliakan Tuhan tidak hanya dilakukan saat di gereja. Karena itu, penyelenggaraan misa melalui siaran radio hanya menyederhanakan, bukan meniadakan perayaan paskah.

“Nilai positifnya ialah kita diajak berdoa bersama keluarga di rumah, dan belajar berkorban seperti Yesus, yang rela mati disalib demi keselamatan manusia,” kata Petege, yang juga Ketua Kuasi persiapan Santo Antonius di Kelurahan Bumiwonorejo.

Menjalani ibadah di lingkungan keluarga kecil menjadi bentuk adaptasi umat dalam memuliakan Tuhan selama menghadapi pandemi covid-19. Selepas perayaan paskah, misa atau ibadah bersama tidak lagi bisa diikuti melalui siaran radio setempat. Program tersebut membutuhkan biaya besar sehingga tidak mungkin terus menerus disiarkan.

“Umat harus menghidupkan ibadah dalam keluarga. Ada bapak yang memimpin (doa), mama memilihkan lagu (rohani), dan anak-anak membacakan alkitab. Sampai situasi normal (pandemi covid-19 berakhir), baru kembali (beribadah lagi) ke gereja,” kata Pastor Paroki KSK Nabire Romo Yohanes Agus Setiyono, SJ.

Romo Agus mengatakan keluarga merupakan bagian terpenting bagi Gereja. Gereja tidak mungkin dapat mandiri jika tidak didukung oleh keluarga-keluarga Katolik setempat.

“Gereja terkecil ialah keluarga. Seperti kata Santo Yohanes Christotomus, sebagai Gereja, rumah tangga adalah tempat Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya Kerajaan Allah,” jelasnya.

Romo Agus mendorong setiap paroki mewujudkan satu kesatuan umat dengan

membuang ego masing-masing. Paroki tetap harus aktif berkegiatan dan melayani umat meskipun secara terbatas.

“Asumsi-asumsi yang berbeda, sekarang harus diperbarui (disepakati bersama). Dalam situasi terburuk sekali pun, umat harus tetap bangkit untuk membangun kehidupan,” kata Romo Agus, yang juga Ketua Dekenat Teluk Cendrawasih. (*)

Editor: Aries Munandar

 

Related posts

Leave a Reply