Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kayu Swang dikenal oleh mayasarakat Papua sejak dulu sebagai bahan utama rumah panggung. Kayu yang telah diolah menjadi penyangga rumah itu dulu sering dijumpai kampung Injros, Tobati dan Kayu Pulo Kota Jayapura. Sejumlah rumah panggung di kawasan itu dulu selalu menggunakan kayu Swang untuk menahan rumah dari terpaan ombak dan gelombang air laut.
“Kayu swang bisa bertahan selama 70 tahun, tetapi sekarang harus diganti dengan tiang beton sebab kayu Swang sudah tidak bisa diambil lagi di hutan,”kata Luis Iwo, warga teluk Youtefa, kampung Injros, kepada Jubi, Jumat (24/7/2020).
Luis mengatakan hampir sebagian besar rumah panggung di Kampung Injros saat ini sudah tidak lagi menggunakan tiang kayu Swang. Hal itu disebabkan persediaan di hutan sudah tidak ada lagi.
“Warga kini harus membeli semen pasir dan kawat besi untuk membuat tiang penyangga,” kata Luis menambahkan.
Namun kini pantauan Jubi di kampung Injros hampir sebagian besar rumah penduduk sudah tidak lagi memakai kayu Swang, kalau pun ada jumlahnya tak banyak.
Kualitas tiang kayu Swang diakui peneliti Fakultas Teknik Sipil Universitas Muhamadiyah Makassar, Darwis Panguriseng yang menulis artikel berjudul Elemen Rumah Kaki suku-suku laut di Wilayah Jayapura.
Baca juga : Eksploitasi hutan sagu yang telah dideforestasi di Papua
DAP apresiasi generasi muda Papua yang kembali berkebun
Dalam artikelnya, Darwis menyebut kayu Swang tanaman endemik Cagar Alam Cycloop sebagai komponen utama menentukan eksistensi rumah yang berlokasi di atas permukaan perairan. Darwis menyebut kayu itu banyak digunakan penduduk suku laut yang bermukim pada tiga kawasan di sekitar Jayapura.
Mulai suku Tobadij, Engros, dan Hai yang mendiami Teluk Youtefa ; suku Youwe, Sibi, Soro, dan Hai yang mendiami Kayu Pulau ; serta suku Makanwei dan Hai yang mendiami kawasan Kayu Batu. Masyarakat suku asli Papua itu memanfaatkan kayu Swang sebagai tiang atau kaki rumah mereka yang berada di perairan.
“Mereka amenyebut kayu Swang meski sebagian ada yang menamakan kayu Soang atau Suang,” tulis Darwis dalam artikel ilmiah yang ia terbitkan.
Keberadaan kayu Swang juga diakui WWF Indonesia yang menyebut kayu Swan merupakan tumbuhan endemik pada Cagar Alam Cycloop. Kayu Swang berdiameter 15 hingga 20 centimeter digunakan sebagai tiang rumah dapat bertahan tiga hingga empat generasi atau setara 70 hingga 100 tahun. Sedangkan kalau menggunakan jenis kayu lain seperti merbau, bakau, maksimum bertahan maksimum 10 tahun.
Sedangkan hasil pengujian laboratorium menunjukkan parameter keawetan dan kekuatan dari kayu Swang hasil yang didapatkan antara lain ; unit weight 1,21 gram per centimeter kubig, absorpsi 12,50 persen, kuat tarik 64,50 Newton per milimeter persegi, kuat tekan 66,72 newton per milimeter persegi, kuat geser 15,50 newton per milimeter persegi, dan kuat lentur 125,50 newton per milimeter persegi.
Kayu Swang di kawasan Cagar Alam Cykloop ini termasuk endemic dan sudah dilindungi sejak 1987 sehingga sangat langka. Apalagi penebangan terus menerus untuk mengambil arang kayu Swang membuat kayu ini semakin terancam punah. Selain itu masa pertumbuhan kayu Swang cukup lama dan membutuhkan waktu minimal 50 tahun untuk mencapai diameter ideal untuk digunakan sebagai elemen tiang rumah.
Kayu dengan nama latin Xanthosthemon Novaguineense Valeton itu tumbuhan yang hanya ditemukan di Papua. Salah satu kawasan yang sering dijumpai kayu Swang di pegunungan Cyclops,mulai dari Kota Jayapura sampai Kabupaten Jayapura.
Dosen program studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Bandung, Sri Wilujeng, saat masih menjadi staf pengajar pada Fakultas MIPA jurusan Biologi Universitas Cenderawasih, pernah menulis jurnal ilmiah dengan judul “Karakterisasi morfologi Xanthosthemon novaguineensis Valeton (Myrtaceae) dari Papua”.
Menurut Sri Wilujeng kayu sowang tergolong kayu yang tahan terhadap serangan perusak seperti rayap tanah, penggerek kayu di laut, cendawan pelapuk putih dan cendawan pelapuk cokelat.(*)
Editor : Edi Faisol