Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Hutan mangrove di Teluk Bintuni bahkan sebagai kawasan mangrove terbaik di dunia setelah Raja Ampat, dan 10 persen dari luas hutan mangrove di Indonesia. Hutan mangrove seluas itu menjadikan kabupaten ini dapat mengembangkan komoditas perikanan, seperti udang dan kepiting. Kepadatan hutan mangrove di sepanjang pesisir membuat Teluk Bintuni terkenal sebagai penghasil perikanan untuk komoditas ekspor, seperti udang, kepiting bakau (mud crab), ikan demersal dan pelagis kecil.”
Aktivis lingkungan meminta agar masyarakat adat dilibatkan dalam melestarikan hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.
Aktivis lingkungan hidup di Teluk Bintuni, Yohanes Akwan, megatakan sejak tahun 2002, kawasan hutan mangrove di Teluk Bintuni mengalami perubahan. Tutupan hutan semakin terbuka dan terdegradasi rusak oleh karena kebijakan pembangunan pemerintah daerah, aktivitas perusahaan dan perkembangan penduduk.Hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan manusia dan biota laut.
“Bupati Teluk Bintuni dan instansi teknis harus segera mengambil langkah-langkah mencegah laju deforestasi dan degradasi hutan mangrove,” kata Akwan.
Misalnya membangun kesadaran bersama, pemerintah, masyarakat dan para pihak lainnya untuk mengembangkan kebijakan dan program edukasi melindungi hutan mangrove tersisa di Teluk Bintuni.
“Libatkan masyarakat Teluk Bintuni untuk melestarikan hutan mangrove, ini penting karena hutan mangrove merupakan aset bagi pembangunan manusia dan lingkungan, bagi kehidupan anak cucu kita di masa depan,” ujarnya.
Hutan mangrove sering juga disebut hutan bakau. Istilah hutan bakau kurang tepat karena bakau hanyalah nama lokal dari marga rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya.
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai, yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada surut. Komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Di Papua Barat, salah satu hutan mangrove terluas berada di Kabupaten Teluk Bintuni. Menurut Dinas Pariwisata setempat, luas hutan mangrove di daerah ini seluas 225.367 hektar atau 52 persen dari total keseluruhan hutan bakau di Papua Barat.
Sudah sejak lama masyarakat adat dipesisir pantai Teluk Bintuni hidup dari hutan mangrove yang mempunyai manfaat ekonomi dan ekologi, seperti mencegah erosi pantai, tempat hidup biota laut, seperti kepiting, udang, ikan, kerang, ulat tambelo, yang bermanfaat menunjang mata pencaharian masyarakat.
Penelitian Kusmana (2003) di kawasan mangrove Teluk Bintuni mengemukakan manfaat tanaman dari hutan mangrove antara lain: Avicennia Marina (nama lokal pai), daunnya buat sayur dan makanan koloni kumbang penghasil madu, berpotensi sebagai bahan baku pembuatan sabun cuci; Avicennia Gymnorrihiza (nama lokal sarau) kayunya bermanfaat buat arang bakar, kulitnya menambah rasa sedap ikan bakar; Bruguiera Sexangula(nama lokal sarau, daunnya mengandung alkaholid dapat mengobati tumor kulit, akarnya untuk menyan, buahnya untuk campuran obat cuci mata; Ceriops Tagal (nama lokal parum), bermanfaat sebagai bahan pewarna dan pengawet jala-jala ikan dan untuk industri batik, kayunya untuk industri kayu lapis dan kulit batang untuk obat.
Tak hanya hutan mangrove, Kabupaten Teluk Bintuni juga menjadi lahan gambut terbesar di Papua Barat. Tahun 1980 hutan mangrove diusulkan oleh WWF untuk masuk dalam cagar alam. Dalam pengembangan cagar alam, daerah ini masuk dalam kawasan strategis selain Kabupaten Raja Ampat sesuai Undang-Undang Tentang Penataan Ruang yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.
Dengan itu ditingkatkan pembangunan berbasis konservasi, sebab mangrove penting bagi perdagangan karbon. Sebanyak 1,4 hektare dari luas hutan mangrove di Bintuni dikembagkan menjadi kawasan ekowisata.
Hutan mangrove di Teluk Bintuni bahkan sebagai kawasan mangrove terbaik di dunia setelah Raja Ampat, dan 10 persen dari luas hutan mangrove di Indonesia. Hutan mangrove seluas itu menjadikan kabupaten ini dapat mengembangkan komoditas perikanan, seperti udang dan kepiting.
Kepadatan hutan mangrove di sepanjang pesisir membuat Teluk Bintuni terkenal sebagai penghasil perikanan untuk komoditas ekspor, seperti udang, kepiting bakau (mud crab), ikan demersal dan pelagis kecil.
Saat ini wilayah perairan pesisir laut Teluk Bintuni telah diperuntukkan untuk Kawasan industri, blok migas, konservasi, dan hutan lindung.
Namun, keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni, sedang mendapat tekanan dan terancam oleh aktivitas perusahaan-perusahaan pembalakan kayu dan perusahaan tambang minyak dan gas. Misalnya perusahaan HPH PT Bintuni Utama Murni Wood Industries, yang sebagian besar areal konsesinya berada di kawasan hutan mangrove.
Tak hanya itu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan tidak ramah lingkungan memnjadikan kawasan mangrove terancam. Ancaman terhadap wilayah perairan semakin dekat dan berdampak pada aktivitas perikanan tangkap. (*)
Sumber: Pusaka.or.id
Editor: Timo Marten