Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Selama 40 tahun terakhir, tegakan hutan mangrove di Teluk Youtefa, Kota Jayapura, telah berkurang sangat luas, termasuk keberadaan hutan perempuan di sana. Padahal, hutan itu sangat penting bagi keberadaan masyarakat adat Enggros, khususnya kaum perempuan Enggros.
Hal itu disampaikan Petronela Merauje saat berbicara dalam webinar bertema “Hutan Mangrove di Tanah Papua: Siapa yang Jaga?” yang diselenggarakan Teras Mitra dan EcoNusa pada Sabtu (19/02/2022). “Kini sebagian besar hutan itu sudah hilang, kami merasa terpukul dan kecewa karena tempat mencari nafkah kami telah hilang,” kata Petronela Merauje.
Perempuan 41 tahun tersebut menuturkan bahwa hutan perempuan merupakan tempat yang sangat sakral bagi kaum perempuan Enggros. Hutan perempuan itu memiliki aturan adat yang sangat kuat, yang dibuat tua-tua adat.
Baca juga: Lonceng kerusakan mangrove di Teluk Youtefa
Di tempat itu, perempuan-perempuan tidak datang mencari kayu bakar, kerang, ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tetapi lebih dari itu, hutan perempuan menjadi tempat bagi perempuan untuk bercerita dan berbagi seputar kehidupan keluarga mereka.
“Kami perempuan Papua itu dilarang untuk bicara di para-para adat. Tempat kami itu di hutan mangrove itu. Kami bisa mencari di sana, kami bisa menyampaikan isi hati kami satu sama lain,” ujarnya.
Menurut Merauje, pembangunan Jembatan Merah dan arena lomba dayung Pekan Olahraga Nasional membuat hutan mangrove di Teluk Youtefa semakin terkikis. Menurutnya, pembangunan itu mempersempit ruang gerak perempuan adat Enggros untuk mencari nafkah. Mereka sudah tidak bisa mencari kerang lagi tanpa busana dalam hutan perempuan, sebab hutan itu sudah terbuka dan orang bisa langsung melihat dari jalan raya ke dalam hutan mangrove.
“Tidak sadar bahwa adat kami sedang dikikis juga. Apalah daya kami, masyarakat hanya bisa diam dan menangis melihat keadaan yang terjadi. Bagaimana 20 tahun yang akan datang, nasib anak-anak kami di kampung?” katanya.
Merauje khawatir semakin gencarnya pembangunan yang mengorbankan kawasan hutan mangrove akan membuat kampung mereka tenggelam karena terkikis abrasi pantai. Ia menuturkan, hutan mangrove yang dulu besar pohonnya kini telah ditebang habis, dan meninggalkan pohon mangrove yang kecil.
Melihat hutan mangrove yang sudah semakin menipis, dirinya kemudian berinisiatif bersama-sama 15 orang mama-mama di Kampung Enggros mulai melakukan rehabilitasi. Mereka mencari bibit dan berjuang menanam di area yang sudah rusak di pinggiran Jembatan Merah. Upaya ini diharapkan bisa perlahan-lahan menggantikan hutan mangrove yang telah rusak, khususnya hutan perempuan yang hilang.
“Siapa yang menjaga hutan mangrove, adalah kami semua yang ada, terutama kami masyarakat adat yang ada di situ. Dan kami akan menjaganya selama hayat hidup kami,” ujarnya.
Baca juga: Jaga Pantai Holtekamp dari ancaman abrasi
Dosen Universitas Papua, Jimmy Wanma mengatakan hampir di seluruh Tanah Papua alam mempunyai hubungan erat dengan budaya masyarakat setempat. Hilangnya alam, terutama hutan mangrove di Teluk Youtefa, akan membuat masyarakat adat kehilangan budaya mereka.
“Budaya kami [orang Papua] terbangun bersamaan dengan alam, karena masyarakat Papua hidup berdampingan dengan alam. Kami tidak hanya kehilangan hutan mangrove di Papua, tetapi ada hal lain yang ikut hilang, yaitu budaya,” katanya.
Menurut Wanma, pemerintah seharusnya melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan mangrove di Papua melalui Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), karena pembangunan kawasan ditentukan RTRW di suatu daerah. Jika hal itu dijalankan, kawasan hutan mangrove akan terlindungi.
“Apakah ada keberpihakan pemerintah dalam RTRW untuk melindungi mangrove, atau justru RTRW membuat atau membangun dengan melepaskan atau menghancurkan hutan mangrove,” ujarnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G