Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Para mahasiswa asal Kabupaten Mimika yang tengah menempuh pendidikan di Indonesia, Australia, dan Selandia Baru menolak pemekaran Provinsi Papua untuk membentukan Provinsi Papua Tengah. Penolakan itu menjadi gagasan utama dalam diskusi daring para mahasiswa asal Kabupaten Mimika pada Selasa (2/2/2021).
Dalam diskusi yang dipandu mahasiswa Papua di Jakarta, Elisabert Kemong bersama mahasiswa Papua di Australia, Rudy Omaleng itu, mengemuka pembahasan tentang perbedaan antara Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diatur Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua (UU Otsus Papua) dan Otonomi Daerah yang diatur Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Otsus Papua, titik berat kewenangan khusus berada di pemerintah provinsi, sementara dalam Otonomi Daerah titik berat kewenangan berada di pemerintah kabupaten/kota.
Karena sebagian titik berat wewenang Otsus Papua berada di pemerintah provinsi, maka setiap rencana pemekaran Provinsi Papua harus mendapatkan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Ketentuan itu diatur dalam Pasal 76 UU Otsus Papua.
Baca juga: Bupati Wilayah Meepago perjuangkan pemekaran Provinsi Papua tengah
Para mahasiswa asal Kabupaten Mimika menilai pemerintah pusat secara sepihak berkoordinasi dengan para bupati di wilayah adat Meepago, mendorong pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk Provinsi Papua Tengah. Komunikasi serupa juga dilakukan dengan para elit politik di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.
Saat dihubungi Jubi pada Rabu (3/2/2021), mahasiswa asal Mimika yang sedang berkuliah di Manado, Sulawesi Utara, Jhoni Jangkup menyatakan dengan diundangkannya UU Otsus Papua pada 2001, maka Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong tidak berlaku lagi. Jika kini gagasan pembentukan Provinsi Papua Tengah digaungkan kembali, Jangkup menilai gagasan itu lebih didasari kepentingan pemodal dan elite-elite lokal, bukan berdasarkan aspirasi masyarakat kecil.
“Jika dilihat dari Pasal 76 UU Otsus Papua, jelas [bahwa] kewenangan pemekaran [Provinsi Papua] ada di tangan MRP, DPR Papua, dan Gubernur Papua. Namun [ketentuan itu] diabaikan, dan [rencana pembentukan Provinsi Papua Tengah] tidak melibatkan [mekanisme] UU tersebut sebagai dasar pemberlakuan Otsus di Tanah Papua,” kata Jangkup.
Jangkup menyatakan mahasiswa mendukung keputusan MRP yang menolak rencana pemerintah pusat untuk secara sepihak merevisi UU Otsus Papua. Apalagi, bagian dari rencana revisi UU Otsus Papua itu adalah mengubah ketentuan Pasal 76 UU Otsus Papua, sehingga pemekaran Provinsi Papua dapat dilakukan tanpa persetujuan MRP.
Wacana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk Provinsi Papua Tengah mengemuka setelah tujuh bupati di Wilayah Adat Meepago mengadakan rapat pada 1 November 2019. Rapat itu menyepakati sejumlah poin, termasuk mendukung rencana pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan menyetujui Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, dijadikan ibu kota Provinsi Papua Tengah.
Para mahasiswa asal Mimika mendesak para elite agar tidak mengatas-namakan orang asli Papua (OAP) untuk meminta pemekaran Provinsi Papua. Jika pemerintah pusat memaksakan pembentukan Provinsi Papua Tengah, para mahasiswa asal Mimika akan turun jalan dan mendorong aspirasi untuk menolak hal itu.
Baca juga: UGM umumkan hasil kajian pembentukan Provinsi Papua Tengah
Mahasiswa asal Mimika yang berkuliah di Malang, Jawa Timur, Nelson Tembak menyatakan sumber daya manusia (SDM) di Papua tidak mencukupi untuk terus melakukan pemekaran Provinsi Papua dan membentuk provinsi baru. “Kami punya perspektif yang sama, menolak dengan pertimbangan bahwa SDM di Papua minim. Dasar apa pemekaran? Apakah sudah ada dialog dengan masyarakat atau tidak?” Tembak bertanya.
Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mimika Jakarta (IPMAME), Melinus Maga mengatakan semua mahasiswa dengan tegas menolak pemekaran Provinsi Papua, termasuk pembentukan Provinsi Papua Tengah. Maga juga mengkritik klaim para elit politik lokal di Wilayah Adat Meepago yang mengatasnamakan mahasiswa untuk meminta pembentukan Provinsi Papua Tengah. “Kami tolak pemekaran dan Otsus [Papua] jilid 2 itu,” kata mahasiswa Trisakti tersebut.
Mahasiswa asal Meepago yang berkuliah di Jakarta, Elias Petege meminta para bupati di Wilayah Adat Meepago berhenti meminta pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan fokus membangun daerahnya masing-masing. Petege pun meyakini bahwa rencana pembentukan Provinsi Papua Tengah lebih didasari kepentingan elit politik ketimbang kepentingan orang asli Papua. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G