Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Mahasiswa asal Kabupaten Yahukimo, Papua, yang tengah berkuliah di Kota Jayapura menyampaikan pernyataan sikap mereka menyikapi bentrokan antara demonstran tolak pemekaran Papua dan aparat keamanan di Dekai, ibu kota Yahukimo, yang terjadi pada 15 Maret lalu. Mereka meminta semua pasukan Brimob ditarik keluar dari Yahukimo.
Hal itu disampaikan para mahasiswa asal Yahukimo pada Jumat (18/3/2022). “”Pasukan Brimob yang diturunkan ke Kabupaten Yahukimo itu harus segera dikembalikan, jangan buat masyakarat trauma,” kata Soleng Soll selaku koordinator lapangan umum para mahasiswa Yahukimo di Kota Jayapura, Jumat.
Para mahasiswa Yahukimo di Kota Jayapura menegaskan unjuk rasa menolak rencana pemekaran Provinsi Papua pada 15 Maret 2022 lalu adalah unjuk rasa damai. Unjuk rasa itu menjadi kacau dan berakhir dengan bentrok karena aparat keamanan represif terhadap demonstran.
Baca juga: Polda Papua: Aktivitas masyarakat di Kota Dekai berangsur normal
Ketua kelompok mahasiswa asal Yahukimo di Kota Jayapura Yanis Sol mengatakan para mahasiswa Yahukimo juga menolak rencana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk Daerah Otonom Baru (DOB). Yanis mengatakan para mahasiswa khawatir pembentukan DOB akan menambah dan memperluas kejahatan aparat terhadap rakyat Papua.
“Rakyat di Yahukimo yang sudah sadar, [mereka] mengelar aksi damai pada tanggal 15 Maret 2022 [sebagai] bentuk protes terhadap segelintir orang yang dipasang oleh [pemerintah] pusat yang inin melanjutkan [pembentukan] DOB. Maka, setiap warga masyarakat Yahukimo menyatakan sikap untuk menolak [DOB],” kata Yanis.
Pada 15 Maret 2022 lalu, terjadi demonstrasi menolak rencana pemekaran Provinsi Papua terjadi di Dekai. Awalnya, unjuk rasa itu berlangsung dengan damai dan tertib, dan para demonstran bergantian menyampaikan aspirasi mereka menolak rencana pembentukan DOB atau provinsi baru. Para demonstran dan polisi juga sempat bernegosiasi, ketika demonstran meminta polisi menghadirkan anggota DPRD Yahukimo untuk menerima aspirasi mereka.
Baca juga: POHR sebut situasi HAM di Papua semakin buruk
Sejumlah narasumber yang dihubungi Jubi menuturkan bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan terjadi setelah seorang polisi yang membawa kamera mengambil gambar para pengunjuk rasa. Sejumlah pengunjuk rasa memprotes hal itu. Protes itu berlanjut menjadi adu mulut antara demonstran dan polisi, lalu terjadi pelemparan batu.
Polisi kemudian menembakkan gas air mata, membuat massa kacau. Dalam kekacauan itu, Yakob Meklok dan Esron Weipsa tertembak peluru tajam dan meninggal dunia. Yakob Meklok meninggal dunia karena luka tembak di bawah ketiak kanan. Sementara Esron Weipsa meninggal karena luka tembak di punggung kiri.
Selain itu, ada tiga orang lain yang menjadi korban terluka dalam bentrokan tersebut. Mereka adalah Briptu Muhammad Aldi (luka di bagian kepala), Itos Hitlay (luka tembak di paha kiri), dan Luki Kobak (luka tembak di paha kanan). Peristiwa itu memicu amuk massa yang membakar sejumlah roku dan kantor pemerintah di Dekai.
Baca juga: Komnas HAM Papua lakukan investigasi tewasnya 2 demonstran di Yahukimo
Yanis menyatakan cara aparat keamanan menangani unjuk rasa menolak rencana pemekaran Provinsi Papua di Dekai menunjukkan bahwa pemenuhan kebebasan berekspresi di Papua jauh dari jaminan kebebasan berekspresi yang dinyatakan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).
“Sesuai Pasal 28E UUD 1945, orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum, secara lisan dan tertulis. Rakyat Yahukimo melakukan aksi demontrasi untuk menolak pemekaran, namum [justru] terjadi bentrokan antara massa aksi dengan pihak keamanan, hingga menewaskan dua warga, dan sejumlah orang lain masih dirawat di rumah sakit,” kata Yanis.
Yanis menyatakan mahasiswa adalah agen perubahan dan kontrol sosial. Mereka merasa prihatin dengan bentrokan yang terjadi di Dekai itu. “Kami mahasiswa Yahukimo dengan penuh menolak DOB. Kami mendesak agar Kapolres Yahukimo dicopot, dan pelaku penembakan massa demonstran diadili. Kami minta Polda Papua segera menarik pasukan tambahan di Dekai, dan kami menolak Operasi Damai Cartenz,” kata Yanis.
Yanis menyatakan pihaknya juga meminta polisi tidak menangkap penanggung jawab demonstrasi menolak pemekaran Papua di Dekai, dan berhenti menangkapi warga Dekai yang ikut dalam demonstrasi itu. “Kami mendeklarasikan tanggal 15 Maret sebagai Hari Yahukimo Berdarah,” ujarnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G