Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay meminta Kepolisian Daerah Papua segera memeriksa Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN atau ATR/BPN dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua atas dugaan pembatasan informasi publik data konsensi Hak Guna Usaha. Pemeriksaan itu penting untuk memastikan Kementerian ATR/BPN segera membuka data konsesi Hak Guna Usaha di Papua.
Gobay menjelaskan pada 25 Maret 2019 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua bersama-sama Koalisi Masyarakat Sipil telah melaporkan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Papua dan Menteri ATR/BPN ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI atas dugaan pembatasan informasi publik data konsesi Hak Guna Usaha (HGU) di Papua. Pada awal Mei lalu, Bareskrim melimpahkan perkara itu kepada Kepolisian Daerah (Polda) Papua.
Pada Jumat (31/5/2019) lalu, LBH Papua telah diperiksa sebagai pelapor dalam perkara itu. “Kami (sebenarnya) meragukan penyidik Polda Papua akan bisa memanggil Menteri ATR/BPN. (Akan tetapi, kami telah diperiksa sebagai pelapor pada Jumat). Kini, kami minta penyidik Polda Papua untuk segera memanggil terlapor untuk diperiksa,” kata Gobay di Jayapura, Minggu (2/6/2019).
Gobay menyatakan sengketa informasi publik itu telah berlangsung sejak 2018. Komisi Informasi melalui putusan nomor 004/III/KI-PAPUA-PS-A/2018 tertanggal 28 Mei 2018 telah memenangkan permohonan LBH Papua untuk membuka data 31 HGU perusahaan perkebunan di Papua. Namun, Kanwil BPN Papua bersama Kementerian ATR/BPN membangkang, tidak menjalankan putusan Komisi Informasi itu.
“Atas ketidaktaatan Kanwil BPN Papua terhadap putusan Komisi Informasi itu, LBH Papua mengajukan penetapan eksekusi Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura. PTUN Jayapura menerbitkan penetapan eksekusi pada 2 Oktober 2018. Seharusnya, dalam 14 hari sejak penetapan eksekusi itu, Kanwil BPN Papua menjalankan putusan Komisi Informasi. Akan tetapi hal itu tidak dijalankan sampai hari ini. Kami meminta penyidik segara memeriksa para terlapor,” kata Gobay.
Mengacu ketentuan Pasal 52 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008, jika pejabat Kanwil BPN Papua bersama pejabat Kementerian ATR/BPN sengaja terus membangkang atas putusan Komisi Informasi untuk membuka data konsesi HGU di Papua itu, maka pejabat Kanwil BPN Papua dan pejabat Kementerian ATR/BPN bisa dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp5 juta.
Gobay menegaskan, bukti-bukti dalam perkara dugaan pembatasan informasi publik itu sangat lengkap. “Bukti surat yang menjadi dasar pelaporan sangat lengkap. Mulai dari putusan Komisi Informasi Papua, penetapan eksekusi dari PTUN Jayapura. Dari dokumen-dokumen itu sudah jelas kedudukan para terlapor, dan mengapa para terlapor harus diperiksa,” katanya.
Gobay menyatakan data HGU sangat penting untuk diumumkan kepada publik, karena aktivitas pemegang HGU berpotensi merusak lingkungan. Besaran HGU yang luas membuat kerusakan lingkungan dari aktivitas pemegang HGU akan berdampak kepada masyarakat luas, namun masyarakat selaku kesulitan mencari alas hak untuk menuntut pemegang HGU.
Sekretaris Kepala Suku Besar Yerisiam Gua sekaligus penggiat HAM Nabire, Robertino Hanebora mengatakan penerbitan izin perkebunan kelapa sawit di Papua telah mengabaikan hak masyarakat adat. Hanebora meminta Kanwil BPN Papua dan Kementerian ATR/BPN segera mengumumkan data konsesi HGU di Papua.
“Perizinan pembukaan lahan untuk kelapa sawit yang tidak mengedepankan hak masyarakat adat,sehingga kami korban berganda. Kami meminta kepada pemerintah Provinsi Papua, Kanwil BPN Papua, Kementerian ATR/BPN berhenti memberikan HGU kepada perusahaan perusahaan yang kemudian merugikan masyarakat adat,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G