Langkah Polda Papua mencegah penyalahgunaan senjata api tepat

Ilustrasi, pemeriksaan senjata api anggota Polres Jayawijaya. - Dok Humas Polda Papua
Suasana pemeriksaan senjata api anggota Polres Jayawijaya. – Dok Humas Polda Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi –  Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan hak asasi manusia Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Laurenzus Kadepa menilai langkah Kepolisian Daerah atau Polda Papua mencegah penyalahgunaan senjata api tepat. Hal itu disampaikan Kadepa menanggapi upaya Polda Papua menertibkan penggunaan senjata api oleh anggotanya.

Read More

“Saya pikir itu langkah tepat, agar peluru tidak begitu gampang ditembakkan oleh oknum-oknum anggota polisi tak bertanggung jawab,” kata Laurenzus Kadepa, Kamis (13/6/2019).

Baca juga Sejumlah faktor diduga menyebabkan penyalahgunaan senjata api oleh anggota TNI/Polri

Upaya Polda Papua tersebut menurutnya, patut didukung. Selama ini banyak warga sipil yang korban akibat penyalahgunaan senjata oleh oknum aparat keamanan.

“Padahal tidak mungkin pimpinan TNI dan Polri menyuruh anggotanya melakukan perbuatan melanggar aturan. Itu ulah oknum yang akhirnya menyebabkan pimpinan institusi disoroti,” ujarnya.

Baca juga Polda Papua berupaya cegah penyalahgunaan senjata api oleh polisi

Sepanjang 2019, telah terjadi sejumlah kasus penembakan oleh polisi maupun tentara yang menewaskan enam warga sipil di Papua, dan melukai lima warga lainnya. Pada 15 April, seorang polisi, Bripda AK yang sedang terlibat perselisihan keluarga, melepaskan tembakan yang melukai tiga orang warga tiga warga sipil di Asei Kecil Sentani Kabupaten Jayapura. Ketiga warga itu adalah, Apner Kaigere (43 tahun, yang terkena dibagian dada), Andi Hengga (36 tahun, terkena pantat), dan Niko Kaigere (tertembak di bagian kaki kanan).

Pada 21 Mei 2019, polisi menembak warga Kabupaten Deiyai, Melianus Dogopia, warga yang mabuk dan memalak mobil yang melintas di Waghete. Penembakan itu menimbulkan amuk massa yang membakar markas Kepolisian Sektor Tigi pada 21 Mei malam. Saat menghalau massa, polisi melepaskan tembakan, dan salah satu tembakan itu menewaskan Yulianus Mote.

Baca juga Mabuk, oknum polisi di Merauke tembak warga hingga tewas

Pada 27 Mei 2019, Serka FR, prajurit Detasemen Zeni Tempur 11/Mit Anim di Kabupaten Merauke menembak warga di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat. Penembakan itu menewaskan empat orang warga-Xaverius Sai (40), Nilolaus Tupa (38), Matias Amunep (16) dan Fredrikus Inepi (35). Seorang warga lainnya, Jhon Tatai (25), tertembak di bagian tangan kanan dan kiri, dan tangan kiri Tatai diamputasi karena luka tembak itu.

Pada 4 Juni 2019 dini hari, Brigadir RK yang mabuk menembak tewas warga Merauke bernama Yohanes Octo Moiwend. Penembakan itu terjadi di sebuah cafe yang berada di kampung Wogekel, Distrik Ilyawab, Kabupaten Merauke.

Baca juga Oknum TNI penembak lima warga Asmat bukan anggota Koramil Fayit

Dosen hukum pidana dari Fakultas Hukum Univesitas Cenderawasih, Dr. Budiyanto, MH menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan yang menyamaratakan seluruh kasus penembakan terjadi karena aparat keamanan yang menjadi pelaku terdesak atau terancam keselamatannya. Menurutnya, setiap kasus penembakan harus diinvestigasi dengan cermat, untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan senjata api.

“Tidak [bisa] semua [aparat keamanan yang menembak warga sipil] beralasan seperti itu. Kalau semua mengatakan, ‘saya terdesak sehingga menembak’, [itu pembelaan yang] saya pikir gampang sekali [dinyatakan]. [Aparat keamanan] harus [menyelesaikan permasalahan di masyarakat dengan] pendekatan dialog harus. [Jika aparat keamanan mampu melakukan pendekatan dialog], fenomena meningkatnya kasus penembakan tidak akan terjadi,” kata Dr. Budiyanto, MH. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply