Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berupaya merampungkan penyelidikan kasus Paniai berdarah dan segera mengumumkan hasilnya kepada publik.
Ketua Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan, penyelidikan dilakukan untk mengetahui apakah kejadian tersebut dikategorikan pelanggaran HAM berat atau tidak.
“Kami mesti ke Jakarta lagi menuntaskan beberapa hal. Kasus Paniai menjadi prioritas Komnas HAM. Empat jenderal polisi bersama 18 perwira dan bintara polisi sudah kami mintai keterangan. Tapi saya tidak bisa menyebut namanya,” kata Frits Ramandey dalam workshop peringatan Hari HAM ke-71 di Kota Jayapura, Papua.
Menurut Frits Ramandey, harusnya Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikan kasus Paniai pada 1 Desember 2019. Namun karena pertimbangan khusus, Komnas HAM menunda mengumumkan hasil penyelidikannya.
Dikatakan Frits ada sejumlah kendala yang dihadapi tim saat mengumpulkan fakta di lapangan. Seperti sulitnya meminta keterangan sejumlah prajurit TNI yang diduga mengetahui kejadian tersebut dan memegang kendali komando saat peristiwa Paniai berdarah terjadi.
Komnas HAM telah mengajukan izin kepada Mabes TNI untuk memeriksa sejumlah anggotanya. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan harus ada izin dari Menteri Politik dan Keamanan (Menkopolkam).
“Ketika Komnas HAM mengajukan izin ke Menkopolkam, Menkopolkam menyatakan izinya mesti dari Mabes TNI. Tapi dalam kasus Paniai, Komnas HAM bekerja serius,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini Frits Ramandey juga berharap perangkat di bawah Presiden Joko Widodo serius menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua termasuk Paniai berdarah agar Indonesia terbebas dari tuduhan pelanggaran HAM.
“Kalau melihat pidato Jokowi pada 20 Oktober 2019, memang tidak menyebut isu HAM. Tapi dalam program kerja, Jokowi menyebutkan penyelesaikan kasus-kasus HAM di Papua. Ini kedua kali Jokowi menyebutkan setelah pada 26 Desember 2014, yang menyatakan ingin kasus HAM di Papua termasuk kasus Paniai diselesaikan. Kepala negara tidak boleh menipu,” katanya.
Sementara Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama atau PWNU Provinsi Papua, Toni Wanggai mengatakan pihaknya berkomitmen mendorong pembentukan Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM Ad-Hoc sesuai amanah UU Otsus tahun 2001.
PWNU Papua juga mendorong penyelesaian persoalan Papua dengan pendekatan budaya, dialogis, dan kemanusiaan.
“Kami juga mendorong pembentukan Badan Nasional Urusan Papua untuk menyelesaikan persoalan Papua secara komprehensif, dan mendoromg konsolidasi antara semua stakeholder, serta proses rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM,” kata Toni Wanggai.
Peristiwa Paniai berdarah terjadi pada 8 Desember 2014. Sebanyak empat siswa SMA tewas dan belasan warga sipil terluka dalam penembakan di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai tersebut. (*)
Editor: Edho Sinaga