Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Komisi Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM perwakilan Papua mendesak Kodam XVII/Cenderawasih segara menuntaskan kasus penembakan lima warga sipil oleh oknum TNI di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat, Papua pada 27 Mei 2019 lalu.
Desakan itu disampaikan Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey kepada Jubi melalui panggilan teleponnya, Selasa (21/4/2020).
“Mestinya penuntasan kasus Fayit dipercepat, karena ada empat warga sipil yang tewas tertembak dan satu lainnya mengalami cacat permanen seumur hidup [karena tangan kiri korban diamputasi],” kata Ramandey.
Penembakan terhadap warga di Distrik Fayit oleh oknum TNI pada akhir Mei 2019 lalu, terjadi saat sekelompok masyarakat melakukan protes terkait hasil pemilihan legislatif DPRD Kabupaten Asmat.
Situasi yang tak terkendali menyebabkan terjadinya penembakan. Penembakan menewaskan empat warga sipil, yakni Xaverius Sai (40 tahun), Nilolaus Tupa (38 tahun), Matias Amunep (16 tahun) dan Fredrikus Inepi (35). Sementara korban luka tembak di tangan kanan dan tangan kiri adalah Jhon Tatai (25 tahun).
Menurut Ramandey, Keuskupan Agats juga terus mendesak Komnas HAM perwakilan Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih segara menyidangkan terduga pelaku penembakan, agar kasus tersebut secepatnya tuntas.
“Keuskupan Agats selalu mendesak kami dan Kodam [menuntaskan kasus penembakan di Fayit]. Karena Kodam dan kami [Komnas HAM perwakilan Papua] ketika itu melakukan investigasi,” ujarnya.
Kata Frits Ramandey, pihaknya sudah berulangkali menanyakan alasan belum disidangkannya kasus Fayit ke Kodam XVII/Cenderawasih.
“Kami sudah berulangkali bertanya, dan jawabannya selalu berkasnya belum lengkap dan lain sebagainya,” ucapnya.
Sementara Wakil Ketua DPR Papua, Yunus Wonda pada akhir pekan lalu meminta agar aparat keamanan yang ditugaskan di Papua memahami kultur dan budaya masyarakat asli Papua di daerah mereka ditugaskan.
Wonda mengatakan, ketidakpahaman aparat keamanan akan kultur dan budaya masyarakat Papua sering memunculkan persepsi lain.
Akibatnya, tak jarang terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil dengan berbagai alasan.
“Panglima TNI dan Kapolri, agar aparat keamanan yang dikirim ke Papua terlebih dahulu harus diberikan pemahaman mengenai kultur budaya orang Papua,” kata Wonda.
Ia juga meminta Pangdam dan Kapolda Papua berperan memberikan pemahaman tentang karakter, budaya masyarakat di daerah tempat para anggota TNI dan Polri akan ditugaskan.
“Ini masalah memahami kondisi dan budaya orang Papua. Kalau mau kejar TPN/OPM kejar ke hutan sana. Sudah terlalu banyak orang asli Papua korban di atas tanah mereka. Sudah terlalu banyak dugaan pelanggaran HAM di Papua,” ujarnya. (*)
Editor: Edho Sinaga