Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Jayapura, Jubi – Komnas HAM perwakilan Papua menyatakan, jika mendengar kronologis dan pengakuan beberapa tenaga pendidik dan tenaga kesehatan, korban intimidasi oleh pihak yang diduga kelompok bersenjata di Mapenduma, Kabupaten Nduga beberapa waktu lalu, peristiwa tersebut memenuhi unsur pelanggaran HAM.
Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan, dari hasil keterangan berbagai pihak termasuk pengakuan eberapa korban kepada pihaknya, memang terjadi intimidasi.
Menurutnya, sejak para guru dan tenaga medis tiba di Mapenduma, 2 Oktober 2018, mereka sudah mendapat intimidasi berupa pemeriksaan barang bawaan mereka oleh kelompok tertentu. Pada 11 Oktober terjadi dugaan kekerasan seksual terhadap seorang guru yang dilakukan kurang lebih delapan orang sekira pukul 03.00 WP, dan 15 Oktober ada upacara kelompok bersenjata yang dipusatkan di Mapenduma sehingga para korban dikumpulkan di suatu tempat dan dilarang beraktivitas.
"Dua hari setelah itu barulah mereka dapat akses ke luar Mapenduma. Belum dapat dikatakan pelanggaran HAM berat atau tidak, tapi sudah memenuhi unsur pelanggaran HAM," kata Frits Ramandey usai bertemu empat orang korban di RS Bhayangkara Jayapura, Selasa (30/10/2018).
Katanya, guru dan tenaga medis dikategorikan pekerja kemanusiaan, sehingga ketika mereka mendapat perlakukan tak manusiawi, intimidasi, dan lainnya itu merupakan pelanggaran HAM.
Dalam peristiwa itu, dugaan pelanggaran HAM tidak hanya terhadap para korban, tapi secara kepada masyarakat di wilayah tersebut.
"Misalnya di Mapenduma ada 2.000 masyarakat, maka 2.000 HAM orang ini hilang untuk mendapat pelayanan kesehatan. Di SD YPPGI yang ada di sana ada 200 siswa, maka 200 siswa ini hak atas pendidikannya hilang. Makanya memenuhi unsur pelanggaran HAM," ujarnya.
Para guru yang bertugas di Mapenduma menurut Ramandey, sebelumnya ditugaskan di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga. Namun lantaran sekolah di distrik tersebut sudah ditutup karena dugaan adanya intimidasi dan kekerasan terhadap guru di wilayah itu, sehingga para guru dipindahkan ke Mapenduma.
"Guru dan tenaga medis ini adalah petugas kemanusiaan. Memberi pelayanan dalam pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat," katanya.
Salah satu korban yang juga saksi dalam kasus Mapenduma mengatakan, sebelum berangkat ke wilayah tersebut, Kepala Bidang Dinas Pendidikan Kabupaten Nduga mengingatkan pihaknya agar jangan berangkat dulu karena kondisi belum aman.
Namun beberapa waktu kemudian, Kepala Dinas Pendidikan setempat menyatakan jika situasi Mapenduma aman karena pihak dinas sudah bertemu dengan tokoh masyarakat dan adat.
Berdasar pernyataan itu para guru kemudian berangkat ke Mapenduma. Namun sesampainya di bandara Mapenduma, mereka diperiksa sekelompok orang.
"Barang-barang bawaan kami disita. Sejak kami tiba, kami disuruh tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan (menggunakan telepon genggam). Awalnya berjalan baik karena kami langsung bekerja di sekolah. Saya tidak mau cerita lebih detail soal apa yang kami alami di sana. Saya masih takut,” katanya menjawab pertanyaan Jubi, Senin (29/10/2018) di RS Bhayangkara, Jayapura.
Katanya, pemerintah daerah setempat lambat merespons apa yang menjadi keluhan mereka saat berada di daerah tugas. Padahal pihaknya pernah melapor kepada Sekda Nduga beberapa waktu jika ada rekan mereka guru pernah di tembaki kelompok bersenjata, namun tak ditanggapi.
"Pemerintah daerah mengatakan kalau kami tidak ke tempat tugas, gaji dan intensif kami ditahan. Mau tidak mau kami harus berangkat ke tempat tugas. Memang ini menjadi risiko kami, namun harus ada dukungan dari pemda," ucapnya. (*)